Thursday 11 September 2014

THAHARAH  DAN ADZAN
MAKALAH
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah : Tafsir 1 (Ahkam)

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI KUDUS
JURUSAN TARBIYAH/PAI
TAHUN 2014



KATA PENGANTAR
Pertama kami panjatkan puji dan syukur kehadirat Allah SWT, yang dengan Rahmat, Taufiq, dan Hidayah-Nya kami telah menyelesaikan makalah ini dengan judul “THAHARAH DAN ADZAN”.
Shalawat dan salam kami haturkan kepangkuan Beliau Nabi Muhammad SAW yang kita nantikan syafaat-Nya di Yaumul Qiyamah, Amin.
Makalah ini kami buat untuk memenuhi tugas mata kuliah  Tafsir I (Ahkam). Kami menyadari bahwa makalah ini masih banyak kekurangan dan kekhilafan.Karena itu kami menerima kritik dan saran yang bersifat membangun demi kesempurnaan makalah ini.
Semoga makalah ini bermanfaat bagi kita semua khususnya bagi mahasiswa tarbiyah baik negeri maupun swasta, yang merupakan komponen MKK ( Mata Kuliah Keilmuan ).
Akhirnya kami sampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya.



Penyusun,

Kelompok I







BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Dalam ajaran Islam menegaskan bahwa sebelum mengerjakan beberapa ibadah tertentu, terutama shalat disyaratkan harus suci terlebih dahulu, baik suci pada diri orang yang melakukan ibadah itu sendiri (suci dari hadas) ataupun suci pada tempat dan pakaian yang dia kenakan saat melaksanakan ibadah tersebut (suci dari hadas). Hal ini disyari’atkan karena Islam selalu mengajarkan umatnya untuk selalu suci senantiasa membersihkan diri baik lahir dan batin.
Ketika kita akan melaksanakan ibadah khususnya shalat yaitu dilakukannya adzan dan iqamah. Adzan adalah pemberitahuan masuknya waktu shalat dengan lafadz-lafadz tertentu. Setelah adzan barulah kemudian iqamah. Sejarah adzan itu sendiri sangat panjang, sewaktu Rasulullah SAW masih berada di Makkah, adzan belum disyari’atkan. Rasulullah SAW menaruh perhatian yang amat besar pada masalah adzan, hingga Allah memperlihatkannya dalam mimpi kepada beberapa sahabatnya. Ketika bangun tidur, Zaid langsung menemui Rasulullah untuk menceritakan mimpinya, kemudian Rasulullah memerintahkan Bilal untuk mengumandamgkan adzan tersebut, dan Rasulullah sendiri menerima dan mengakui adzan tersebut.

B.     Rumusan Masalah
1.      Surat apa yang membahas tentang thaharah dan adzan?
2.      Surat apa yang berkaitan dengan ayat thaharah dan adzan?
3.      Bagaimana asbabun nuzul dari ayat thaharah (al-Maidah ayat 6) dan adzan (al-Maidah ayat 58)?
4.      Bagaimana penafsiran dari ayat thaharah (al-Maidah ayat 6) dan adzan (al-Maidah ayat 58)?
5.      Bagaimana analisa penafsiran dari ayat thaharah (al-Maidah ayat 6) dan adzan (al-Maidah ayat 58)?


BAB II
PEMBAHASAN

A.      Thaharah
1.      QS. Al-Maidah (5) Ayat 6    
š$pkšr'¯»tƒ šúïÏ%©!$# (#þqãYtB#uä #sŒÎ) óOçFôJè% n<Î) Ío4qn=¢Á9$# (#qè=Å¡øî$$sù öNä3ydqã_ãr öNä3tƒÏ÷ƒr&ur n<Î) È,Ïù#tyJø9$# (#qßs|¡øB$#ur öNä3ÅrâäãÎ/ öNà6n=ã_ör&ur n<Î) Èû÷üt6÷ès3ø9$# 4 bÎ)ur öNçGZä. $Y6ãZã_ (#r㍣g©Û$$sù 4 bÎ)ur NçGYä. #ÓyÌó£D ÷rr& 4n?tã @xÿy ÷rr& uä!%y` Ótnr& Nä3YÏiB z`ÏiB ÅÝͬ!$tóø9$# ÷rr& ãMçGó¡yJ»s9 uä!$|¡ÏiY9$# öNn=sù (#rßÅgrB [ä!$tB (#qßJ£JutFsù #YÏè|¹ $Y6ÍhŠsÛ (#qßs|¡øB$$sù öNà6Ïdqã_âqÎ/ Nä3ƒÏ÷ƒr&ur çm÷YÏiB 4 $tB ߃̍ムª!$# Ÿ@yèôfuŠÏ9 Nà6øn=tæ ô`ÏiB 8ltym `Å3»s9ur ߃̍ムöNä.tÎdgsÜãŠÏ9 §NÏGãŠÏ9ur ¼çmtGyJ÷èÏR öNä3øn=tæ öNà6¯=yès9 šcrãä3ô±n@ ÇÏÈ     
 “Wahai orang-orang yang beriman! Apabila kamu hendak melaksanakan shalat, maka basuhlah wajahmu dan tanganmu sampai ke siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kedua kakimu sampai kedua mata kaki. Jika kamu junub, maka mandilah. Dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, maka jika kamu tidak memperoleh air, maka bertayamumlah dengan debu yang baik (suci); usaplah wajahmu dan tanganmu dengan (debu) itu. Allah tidak ingin menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmatNya bagimu, agar kamu bersyukur.” (QS. Al-Maidah 5:6)1



2.      Munasabah Ayat
a.       QS. An-Nisa’ (4) Ayat 43
$pkšr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#qãYtB#uä Ÿw (#qç/tø)s? no4qn=¢Á9$# óOçFRr&ur 3t»s3ß 4Ó®Lym (#qßJn=÷ès? $tB tbqä9qà)s? Ÿwur $·7ãYã_ žwÎ) ̍Î/$tã @@Î6y 4Ó®Lym (#qè=Å¡tFøós? 4 bÎ)ur LäêYä. #ÓyÌó£D ÷rr& 4n?tã @xÿy ÷rr& uä!$y_ Ótnr& Nä3YÏiB z`ÏiB ÅÝͬ!$tóø9$# ÷rr& ãLäêó¡yJ»s9 uä!$|¡ÏiY9$# öNn=sù (#rßÅgrB [ä!$tB (#qßJ£JutFsù #YÏè|¹ $Y7ÍhŠsÛ (#qßs|¡øB$$sù öNä3Ïdqã_âqÎ/ öNä3ƒÏ÷ƒr&ur 3 ¨bÎ) ©!$# tb%x. #qàÿtã #·qàÿxî ÇÍÌÈ  
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan, (jangan pula hampiri mesjid) sedang kamu dalam keadaan junub, terkecuali sekedar berlalu saja, hingga kamu mandi. dan jika kamu sakit atau sedang dalam musafir atau datang dari tempat buang air atau kamu Telah menyentuh perempuan, Kemudian kamu tidak mendapat air, Maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik (suci); sapulah mukamu dan tanganmu. Sesungguhnya Allah Maha Pema'af lagi Maha Pengampun”. (QS. An-Nisa’ 4:43)[1]
b.      QS. Al-Baqarah (2) Ayat 222
štRqè=t«ó¡our Ç`tã ÇÙŠÅsyJø9$# ( ö@è% uqèd ]Œr& (#qä9ÍtIôã$$sù uä!$|¡ÏiY9$# Îû ÇÙŠÅsyJø9$# ( Ÿwur £`èdqç/tø)s? 4Ó®Lym tbößgôÜtƒ ( #sŒÎ*sù tbö£gsÜs?  Æèdqè?ù'sù ô`ÏB ß]øym ãNä.ttBr& ª!$# 4 ¨bÎ) ©!$# =Ïtä tûüÎ/º§q­G9$# =Ïtäur šúï̍ÎdgsÜtFßJø9$# ÇËËËÈ  



“Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah: "Haidh adalah suatu kotoran". Oleh karena itu, jauhilah istri pada waktu haidh; dan janganlah kamu mendekati mereka sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, campurilah mereka sesuai dengan (ketentuan) yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang betobat dan menyukai orang yang menyucikan diri.” QS. Al-Baqarah (2:222)[2]

3.      Asbabun Nuzul
Dalam suatu riwayat dikemukakan bahwa kalung ‘Aisyah ra. telah jatuh dan hilang di suatu lapangan dekat kota Madinah. Rasulullah SAW. memberhentikan untanya lalu turun, untuk mencarinya kemudian istirahat hingga tertidur di pangkuan ‘Aisayah ra. . Tiada lama kemudian datanglah Abu Bakar menampar ‘Aisyah ra. sekerasnya seraya berkata: “Kamulah yang menahan manusia karena sebuah kalung”. Kemudian Nabi SAW. terbangun dan tibalah waktu Shubuh. Beliau mencari air tapi tidak mendapatkannya, maka turunlah ayat ini (S.5:6). Maka berkatalah Usaid bin Mudlair: “Allah telah memberi berkah bagi manusia dengan sebab keluarga Abu Bakar”. Ayat ini mewajibkan berwudlu atau tayammum sebelum sholat. Diriwayatkan oleh al-Bukhari dari ‘Amr bin al-Harts dari Abdurrahman bin al-Qasim dari bapaknya yang bersumber dari ‘Aisyah ra.
            Dalam riwayat lain dikemukakan bahwa setelah terjadi peristiwa kehilangan kalung ‘Aisyah ra. yang menimbulkan fitnah yang besar, pada suatu ketika dalam suatu peperangan beserta Rasulullah SAW, kalung ‘Aisyah jatuh lagi, sehingga orang-orang terhalang pulang karena perlu mencari kalung yang hilang itu. Berkatalah Abu Bakar kepada ‘Aisyah: “wahai anakku tiap-yipa perjalanan kau selalu menjadi balak dan menjengkelkan orang lain”. Maka Allah menurunkan ayat ini (S.5:6) yang membolehkan tayamum, sehingga Abu Bakar berkata: “sesungguhnya kau membawa berkah”. Diriwayatkan oleh at-Thabarani dari ‘Ubbad bin Abdullah bin Zubair yang bersumber dari ‘Aisyah.
Dalam pada itu al Suyuthi memberikan keterangan bahwa ada dua hal yang patut dicatat berkenaan dengan azbabun nuzul di atas.
·           Hadits al-Bukhari dari riwayat Amr bin al Harts dengan jelas menyatakan bahwa ayat tayamum yang diriwayatkan dalam berbagai hadits ialah ayat al Maidah, dan banyak riwayat lagi yang mengemukakan ayat tayamum tanpa menyebutkan sumber suratnya. Menurut Ibnu Abdilo Bar riwayat seperti itu midlal karena tidak jelas ayat yang mana dari kedua ayat itu yang dimaksud oleh aisyah. Ibnu Abdil Bar tidak mendapatkan  dalilyang memperkuat hadits itu.
Menurut Ibnu Batthal riwayat itu berkenaan dengan ayat dalam suarat An-nisa, dengan alasan, ayat al Maidah diberi ayat wudhu, dan ayat di surat An-nisa tidak disebut sebut ayat wudhu, jadi bisa ditujukan ayat ini khusus untuk tayamum.
Menurut al-Wahidi, hadits Bukhari ini juga merupakan dalil azbabun nuzul bagi ayat an-Nisa sehingga tidak sah lagi dianggap lebih berat benarnya oleh al Bukhari sebagai azbabun nuzulnya ayat al Maidah itu. Ini lah jalan keluar yang dikemukakan oleh al-Wahidi dalam menetapkan azbabun nuzul dari ayat tersebut.
·           Hadits Bukhari ini menunjukkan bahwa wudhu telah diwajibkan kepada umat islam sebelum turun ayat ini. Oleh karena itu mereka merasa berkeberatan untuk berhenti di tempat yang tidak ada air itu, hingga Abu Bakar mengatakan kepada ‘Aisyah bahwa dia membawa berkah (tegasnya membolehkan tayamum).
Menurut Ibnu Abdil Bar bahwa ahli sejarah peperangan telah maklum, bahwa sesungguhnya Rasulullah SAW. selalu berwudhu untuk sholat (sejak mulai sholat difardhukan), dan tidak ada yang membantahnya kecuali yang bodoh atau pembangkang. Adapun hikmah turun ayat perintah wudhu yang didahului dengan amalnya ialah agar supaya fardhunya wudhu diperkuat dengan turunya ayat.
Menurut yang lainnya, boleh jadi awal ayat itu diturunkan lebih dahulu berkenaan dengan fardhu wudhu, dan sisanya diturunkan kemudian berkenaan dengan tayamum di dalam riwayat tersebut di atas.
Menurut As Suyuthi, yang pertama itu yang benar karena fardhunya wudhu itu ditetepkan di Mekkah bersamaan dengan fardhunya shalat, padahal ayat ini Madaniyah.[3]
4.      Penafsiran
Dari sini, ayat ini mengajak dan menuntun: Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, yakni telah berniat dan membulatkan hati untuk melaksanakan shalat, sedang saat itu kamu dalam keadaan tidak suci atau berhadas kecil, maka berwudhulah, yakni basuhlah muka kamu seluruhnya dan tanagn kamu ke siku, yakni sampai  dengan siku, dan sapulah, sedikit sebagian atau seluruh kepala kamu dan basuhlah atau sapulah kedua kaki-kaki kamu sampai dengan kedua mata kaki, dan jika kamu junub, yakni keluar mani dengan sebab apapun dan atau berhalangan shalat bagi wanita maka mandilah, yakni basahilah seluruh bagian badanmu.
Setelah menjelaskan cara bersuci wudhu dan mandi dengan menggunakan air, lalu dijelaskan cara bersuci jika tidak mendapatkan air atau tidak dapat menggunakannya. Penjelasan itu adalah dan jika  kamu sakit, yang menghalangi kamu menggunakan air, karena khawatir bertambah penyakit atau memperlambat kesembuhan kamu atau dalam perjalanan yang dibenarkan agama dalam jarak tertentu, atau kembali dari tempat buang air (kakus) setelah selesai membuang hajat, atau menyentuh perempuan, yakni terjadi pertemuan dua alat kelamin, lalu kamu tidak memperoleh air, yakni tidak dapat menggunakan, baik karena tidak ada atau tidak cukup, tau karena sakit, maka bertayamumlah dengan tanah yang baik, yakni suci. Untuk melaksanakan tayamum sapulah muka kamu dan tangan kamu dangan tanah itu. Allah Yang Maha Kaya dan Kuasa itu tidak menghendaki untuk menjadikan atas kamu sedikitpun, karena itu disyari’atkanNya kemudahan-kemudahan untuk kamu, karena Dia hendak membersihkan kamu lahir dan batin denagan segala macam ketetapnNya, baik yang kamu ketahui hikmahnya maupun tidak dan agar Dia menyempurnakan nikmatNya bagi kamu, dengan meringankan apa yang kamu menyulitkan kamu, memberi izin dan atau mengganti kewajiban dengan sesuatu yang lebih mudah supaya kamu bersyukur.
Firman-Nya: ) اذا قنتم الى الصلاة ) apabila kamu telah akan mengerjakan shalat, menunjukkan perlunyan niat bersuci guna sahnya wudhu, karena kalimat telah akan mengerjakan berarti adanya tujuan mengerjakan, dan tujuan itu adalah niat, dan niat yang dimaksud adalah untuk melaksanakan shalat, bukan untuk membersihkan diri atau semacamnya, baik diucapkan atau tidak
Firman-Nya: ( فا غسلوا ) basuhlah, berarti mengalirkan air pada anggota badan yang dimaksud. Sementara ulama menambahkan keharusan menggosok anggota badan saat mengalirkan air.
Firman-Nya : ( وايديكم الى المرافق ) dan tangan kamu sampai dengan siku, dapat dipahami dalam arti sempit dan luas. Para ulama berbeda pendapat tentang kata ila, apakah itu berarti sampai, sehingga siku-siku termasuk yang wajib dibasuh atau tidak. Mayoritas ulama berpendapat bahwa siku-siku wajib dibasuh. Karena itu terjemahan di atas menyatakan sampai dengan sunah Rasul SAW pun menginformasikan beliau berwudhu dengan tangan bersama dengan siku beliau.
Firman-Nya: ( وامسحوا برءوسكم ) sapulah kepala kamu. Setelah disepakati ulama tentang wajibnya menggunakan air ke kepala, mereka berbeda pendapat tentang batas minimal yang wajib.
Firma-Nya: ( برءوسكم )  dengan kepala kamu, dan karena kepala disapu yakni tidak harus dibasuh dan dicuci, maka cukup disapu dengan air walau hanya dengan sedikit air.
Firman-Nya: ( فامسحوا بوجو هكم وايديكم منه ) maka sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu, menunjukkan bahwa dalam bertayamum hanya wajah dan tangan ynag harus disapu dengan tanah, apapun sebab bertayamum dan tujuannya apakah sebagai pengganti wudhu atau mandi.[4]
5.      Analisa
Ahmad Bukhori dan Muslim juga meriwayatkan hadits dari Abu Hurairah yang intinya menyatakan bahwa Allah SWT. tidak akan menerima sholat salah seorang dari kamu yang berhadas sampai dia berwudhu. Hadits tersebut menunjukkan bahwa kaum muslimin pada zaman nabi tidak selalu berwudhu untuk setiap kali mengerjakan sholat kalaupun nabi SAW. sendiri tidak disebut-sebut berwudhu setiap kali hendak menegakkan sholat, itu semata-mata menunjuk pada suatu kebiasaan yang baik, tidak merupakan suatu kewajiban. Sebab, paling tidak pada peristiwa pembebasan kota Mekkah, nabi sendiri dihadapan orang banyak pernah menegakkan beberapa sholat dengan hanya sekali berwudhu. Sunnah nabi ini mengidentifikasi kebolehan satu kali berwudhu untuk sejumlah sholat, tentu saja selama orang yang bersangkutan belum berhadas atau tidak batal wudhunya.
Dari keterangan di atas dapatlah diketahui bahwa melakukan wudhu untuk setiap kali sholat pada dasarnya merupakan keharusan (‘azimah), dan itulah yang paling afdhal. Namun demikian kewajiban berwudhu untuk setiap kali shalat itu hanya dibebankan kepada orang-orang yang berhadas, tidak pada yang masih memiliki wudhu. Atau dengan kalimat lain, melakukan wudhu untuk setiap kali sholat bagi orang yang tidak berhadas lebih bersifat anjuran (mandub), bukan suatu keharusan.[5]
Setelah Alah SWT menerangkan berbagai kewajuiban penggunaan air dalam berwudhu dan mandi ketika bermaksud hendak menegakkan sholat, Allah menerangkan bahwa kewajiab menggunakan air oleh orang yang berwudhu ndan mandi junub itu terkait dengan dua. Pertama, air itu sendiri memang ada. Kdua, orang yang bersangkutan memiliki kemampuan untuk menggunakannya, karena sakit dan lain sebagainya, maka baginya dibolehkan bertayamum. Atau dengan kalimat lain, kewajiban bersuci (mandi dan wudhu) bergeser dari kewajiban menggunakan air menjadi dibolehkan bertayamum.
Lahiriah nash di atas membolehkan tayamum secara mutlak bagi setiap orang yang sakit apaun. Hanya saja, sakit yang dibolehkan bertayamum ialah sakit yang apabila terkena air akan semakain bertambah penyakitnya seperti luka, kudis, dan lain-lainnya. Penyakit kulit yang menurut perkiraan atau petunjuk dokter dikhawatirkan berbahaya. Demikian pula halnya dengan sakit yang mengakibatkan si sakit tidak merasa sanggup untuk berwudhu atau mandi denagn menggunakan air dingin, seperti orang demam yang menggigil. Dengan demikian maka penyakit atau sakit yang tidak membahayakan seseorang untuk berwudhu dan mandi denagn menggunakan air, maka tidak dibenarkan bertayamum hanya sekedar sakit flu, sakit gigi dan lainnya.[6]
a.       Pengertian Thaharah
Kata thaharah dalam bahasa Arab yang dapat diartikan bersuci dari kotoran, baik kotoran yang bersifat hissy (inderawi) maupun bukmi (secara umum)’ dalam istilah fiqih diartikan membersihkan badan, pakaian dan tempat dari najissebelum kita melakukan ibadahseperti shalat, thawaf dalam ibadah haji dan sebagainya. Hal ini tidak berarti bahwa bersuci itu hanya dilakukan ketika kita akan melakukan ibadah saja, melainkan juga dalam segala waktu dan keadaan. Karena bersuci atau thaharah hukumnya wajib. Adapun cara-cara bersuci adalah sebagai berikut:
1.      Wudhu
Wudhu menurut bahasa berarti baik dan bersih sedangkan menurut istilah syara’ wudhu adalah membasuh muka, dan kedua tangan sampai siku, mengusap sebagian kepala, dan membasuh kaki didahului dengan niat dan dilakukan dengan tertib. Perintah wudhu diberikan kepada orang yang akan mengerjakan shalat, dan menjadi salah satu dari syarat sahnya shalat dan ibadah lainnya. Perintah berwudhu bersamaan dengan perintah shalat wajib lima waktu sehari semalam.
2.         Mandi
Dalam syari’at Islam mandi adalah meratakan air yang suci pada seluruh badan dengan disertai niat. Dengan demikian niat merupakan hal yang membedakan antara mandi biasa dengan mandi wajib (janabah). Disyariatkannya mandi berdasar firman Allah dalam al-Qur’an yang artinya: “apabila kamu sekalian dalam keadaan junub maka mandilah” (QS. Al-Maidah:7)
Adapun cara melakukan mandi wajib adalah:
-          Membasuh kedua tangan dengan niat yang ikhlas karena Allah
-          Membersihkan kotoran yang ada pada badan
-          Berwudhu (membasuh anggota wudhu)
-          Menyiram rambut dengan air sambil menggosok dan menyilanginya dengan jari
-          Menyiram seluruh badan sebelah kanan dan menggosoknya dengan rata.
3.    Tayammum
Apabila seseorang junub atau seseorang akan mengerjakan shalat, orang tersebut tidak mendapatkan airuntuk mandi atau untuk wudhu, maka sebagai ganti untuk menghilangkan hadats besar atau kecil tersebut dengan melakukan tayammum. Tayammum menurut bahasa sama dengan qasad artinya menuju. Sedangkan menurut pengertian syara’, tayammum adalah menuju kepada tanah untuk menyapukan dua tangan dan muka dengan niat agar dapat mengerjakan shalat.
Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Imran bin Hushani, beliau berkata:
Kami beserta Rasulullah SAW dalam suatu kepergian, maka melaksanakan shalat beserta orang banyak. Maka tiba-tiba ada seorang yang menyendiri. Maka Nabi bersabda: ”Apa yang menghalangimu untuk melaksanakan shalat?” berkata oarang tersebut: “Kami mengalami janabat dan tidak mendapatkan air” Nabi bersabda: ‘Pakailah debu (untuk bertayammum) karena tayammum itu cukup untukmu” (HR. As-Syaikhani)[7]
Dalam ayat di atas memberi pengertian bahwa:
a.    Berwudhu di waktu hendak bershalat adalah wajib
b.    Berwudhu itu wajib atas tiap-tiap yang hendak bershalat walaupun tidak berhadas, jumhur Ulama’ berpendapat umum ayat ini dihadapkan pada orang yang berhadas, mengingat hadits yang mewajibkan wudhu terhadap yang berhadas
c.    Wudhu diwajibkan sesudah nabi berada di Madinah
d.   Wudhu hanya wajib untuk bershalat saja. Adapun berwudhu untuk beberapa perbuatan lain diperoleh dari hadits.[8]
B.       Adzan
1.      QS. Al-Maidah (5) Ayat 58
#sŒÎ)ur öNçG÷ƒyŠ$tR n<Î) Ío4qn=¢Á9$# $ydräsƒªB$# #Yrâèd $Y6Ïès9ur 4 šÏ9ºsŒ óOßg¯Rr'Î/ ÓQöqs% žw tbqè=É)÷ètƒ ÇÎÑÈ  
 “Dan apabila kamu menyeru (mereka) untuk (melaksanakan) shalat, mereka menjadikannya bahan ejekan dan permainan. Yang demikian itu adalah karena mereka orang-orang yang tidak mengerti” (QS. Al-Maidah 5:58)[9]



2.      Munasabah Ayat
QS. Al-Jumu’ah (62) Ayat 9
$pkšr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#þqãZtB#uä #sŒÎ) šÏŠqçR Ío4qn=¢Á=Ï9 `ÏB ÏQöqtƒ ÏpyèßJàfø9$# (#öqyèó$$sù 4n<Î) ̍ø.ÏŒ «!$# (#râsŒur yìøt7ø9$# 4 öNä3Ï9ºsŒ ׎öyz öNä3©9 bÎ) óOçGYä. tbqßJn=÷ès? ÇÒÈ  
“Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum'at, Maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui”. 11

3.      Asbabun Nuzul QS. Al-Maidah (5) Ayat 58
Ibnu ‘Abbas ra. memaparkan bahwa kedua ayat ini diturunkan berkenaan dengan rifa’ah bin Zaid bin Tabut dan Suwaid bin Harits. Mereka masuk Islam, tetapi kemudian mereka menjadi orang Munafik. Beberapa orang dari kaum Muslim bersahabat dan sangat menyayangi mereka berdua. (HR. Abu Syaikh dan Ibnu Hibbah)
Menurut al-Kalbi, apabila muadzin mengumandangkan adzannya kaum muslimin mengerjakan shalat, mereka (orang-orang Yahudi) saling berkata dan memperolok-olok kaum muslimin. Mereka telah berdiri, yang sebenarnya tidak berdiri. Bahkan mereka tertawa apabila orang-orang Islam ruku’, dan sujud, kemudian mereka mengomentari adzan tersebut seraya mengejek. “Lihatlah mereka (orang-orang Islam) telah menciptakan suatu cara yang belum pernah terjadi pada umat-umat sebelumnya. Dari mana mereka memperoleh teriakan semacam itu yang seperti suara unta? Alangkah jelek dan buruknya suara itu tersebut!” Perbuatan tersebut mereka lakukan tiada lain dalam rangka mengejek dan memperolok-olok kaum muslimin, kemudian Allah menurunkan ayat tersebut.[10]




4.      Penafsiran
Firman Allah Ta’ala, “dan jika kamu mengajak untuk shalat maka mereka menjadikannya sebagai ejekan dan permainan”. Yakni apabila kamu mengajak shalat maka mereka menjadikannya sebagai ejekan dan permainan pula. “ hal itu karena mereka merupakan kaum yang tidak memahami” konsep-konsep ibadah kepada Allah dan aneka syari’at-Nya. Inilah sifat-sifat para pengikut setan. Jika mendengar adzan maka mereka membelakang dan menyumbat telinganya sehingga tidak mendengar seruan. Jika adzan usai maka mereka menghadap lagi. Jika dibacakan (tatswib) ajakan shalat maka mereka membelakang. Jika ajakan itu usai maka mereka menghadap lalu menggoda seseorang dengan mengatakan, “bacalah anu dan bacalah anu” terhadap sesuatu yang belum dibaca sehingga orang itu pun tidak mengetahui sudah berapa rekaat dia shalat. Jika salah seorang di antara kamu mendapat godaan semacam itu maka bersujudlah dua kali sebelum salam. Keterangan yang menetapkan demikian disepakati kesahihannya. Az-Zuhri berkata, “Allah menyebutkan soal adzan dalam kitab-Nya”. Dia berfirman, “Dan jika kamu mengajak untuk shalat....” Demikianlah diriwayatkan oleh Hatim.
Sehubungan dengan firman Allah, “dan apabila kamu mengajak untuk shalat maka mereka menjadikannya sebagai ejekan dan permainan”, Asbath meriwayatkan dari as-Sadi, dia berkata, “Ada seorang Nasrani Madinah. Jika dia mendengar seseorang menyerukan, ‘aku bersaksi bahwa Muhammad Rasul Allah’, maka dia berkata, ‘Mudah-mudahan si pendusta itu terbakar!’ Pada suatu malam, pembantunya masuk ke dalam rumah sambil membawa api ketika dia dan keluarganya sedang tidur. Kemudian ada percikan api yang jatuh, lalu membakar rumah sehingga si Nasrani dan keluarganya pun terbakar”. Keterangan ini diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dan Ibnu Abi Hatim.[11]



5.      Analisa
a.    Pengertian adzan
Adzan merupakan pemberitahuan bahwa waktu sholat telah masuk dengan kalimat-kalimat tertentu. Sedangkan iqomah adalah membangunkan orang yang hadir untuk melakukan shalat dengan kalimat-kalimat tertentu.
Surat al-Maidah ayat 58 menjelaskan tentang sikap orang-orang munafik ketika diseru untuk mengerjakian sholat yaitu mereka mengejek dan menjadikan permainan jika muazzin mengumandangkan adzan dan orang-orang yahudi mentertawakan dan menjadikan sendau gurau waktu ornag-orang muslim rukuk dan sujud pada waktu sholat. Orang-orang yahudi berkata: “benar-benar muslim memulai sesuatu yang tidak pernah mereka dengar dari umat sebelum Islam”. Orang yahudi berkata lagi: “dari manakah suara yang seperti  jeritan unta?”. Apakah ada suara yang lebih jelek dari itu”. Begitulah sifat orang yahudi menjadikan adzan sebagai senda gurau dan permainan, hal itu disebabkan karena mereka adalah kaun yang tidak berfikir.
b.    Sejarah Adzan
Sewaktu Rasulullah SAW masih berdomisili di Makka, adzan belum disyari’atkan. Namun, apabila mereka hendak memanggil saudara-saudaranya untuk shalat, mereka memanggilnya dengan kata-kata “ﺍﻠﺼﻼﺓﺠﺍﻤﻌﺔ”. Setelah beliau hijrah dan kiblat telah dialihkan kembali ke Baitullah, maka disyari’atkan adzan. Padahal Rasulullah telah pernah mendengar suara adzan tersebut pada hari Isra’ Mi’raj.
Rasulullah menaruh perhatian yang amat besar pada masalah adzan ini, hingga Allah memperlihatkannya dalam mimpi kepada beberapa orang sahabatnya, diantanya adalah Abdullah bin Zaid al-Khazzaji al-Anshari. Ketika banguntidur, Zaid langsung menemui Rasulullah Saw dan menceritakan mimpinya. Kemudian Rasulullah Saw memerintahkan Bilal untuk mengumandangkan adzan tersebut. Bilal menambahkan kata-kata “ﺍﻠﺼﻼﺓﺨﻴﺮﻤﻦﺍﻠﻨﻮﻡ” dalam adzan subuh, Rasulullah SAW sendiri mengakui dan menerimanya.





c.    Hukum Adzan
Dalam status hukumnya, para ulama’ berbeda pendapat. Di antaranya adalah sebagai berikut:
·      Malikiyyah berpendapat bahwa adzan wajib dilakukan di masjid-masjid untuk shalat jama’ah raga manyusia dapat berkumpul.
·      Assyafi’i, Abu Hanifah, Tsauri, Ahmad, Ishak, Abu Tsaur dan Ath-Thabarani menyatakan bahwa seseorang meninggalkan adzan baik sengaja maupun tidak, maka shalatnya dianggap tidak sah.
d.      Teknis Adzan
·      Malikiyyah dan Syafi’iyyah berpendapatbahwa adzan dilakukan dua kali (diulang), sedangkan iqamah dilakukan hanya sekali. Namun, dalam hal takbir yang pertama Syafi’iyyah mengulanginya sampai empat kali.
·      Hanafiyyah, Altsaur, dan Hasan bin Hay berpendapat bahwa adzan dan iqamah dilakukan dua-dua. Sedangkan dalam takbir yang pertama, baik adzan maupun iqamah dilakukan empat kali.
e.    Tatswib dalam Shalat Subuh
Tatswib adalah mengumandangkan kata-kata “ﺍﻠﺻﻼﺓﺨﻴﺮﻤﻦﺍﻠﻨﻭﻡ” pada waktu adzan subuh. Malik, Tsauri, Laits, dan syafi’i menyatakan bahwa tatswib dalam adzan subuh dilakukan seteleh pengucapan kata-kata                  “ ﺤﻲﻋﻠﻰﺍﻠﺼﻼﺓ” dua kali.
Abu Hanifah dan sahabat–sahabatnya menyatakan bahwa tatswib  dalam adzhan subuh dilakukun setelah selesai adzan. Ini pun bagi orang-orang yang menghendakinya.              
f.     Waktu Adzan
Para ulama’ dan ilmuan sepakat bahwa waktu adzan dilakukun apabila telah masuk waktu shlat. Namun dalam hal adzan subuh, mereka berselisih pendapat.
·           Malik, Syafi’i, Ahmad dan Abu Tsaur berpendapat bahwa dalam adzan subuh boleh dilakukan sebelum datang waktu subuh (sebelum terbit waktu fajar).
·           Abu Hanifah, Tsaur dan Muhammad bin Hasan berpendapat bahwa adzan tidak boleh dilakukan kecuali bila telah masuk waktu shalat. Ketetapan ini juga berlaku untuk adzan subuh
·           Segolongan ahli hadits menyatakan apabila dalam masjid terdapat muadzin, maka hendaklah salah seorang di antara mereka beradzan sebelum fajar terbit dan muadzin lainnya beradzan setelah waktu subuh.
g.    Orang yang Berhak Iqamah
Para ulama’ tiada kata sepakat dalam hal orang yang berhak melakukan iqamah setelah dilakukannya adzan untuk shalat.
·           Malik, Abu Hanifah , dan para sahabat-sahabatnya menyatakan bahwa siapa saja di antaranya orang yang hadirboleh melakukan iqamah dan tidak diharuskan orang yang melakukan adzan.
·           Asy-Syafi’i dan Laits berpendapat barang siapa yang adzan, maka dialah yang paling berhak untuk iqamah.[12]















BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Dari uraian di atas dapat ditarik kesimpulan, di antaranya adalah:
Dapatlah diketahui bahwa melakukan wudhu untuk setiap kali sholat pada dasarnya merupakan keharusan (‘azimah), dan itulah yang paling afdhal. Namun demikian kewajiban berwudhu untuk setiap kali shalat itu hanya dibebankan kepada orang-orang yang berhadas, tidak pada yang masih memiliki wudhu. Atau dengan kalimat lain, melakukan wudhu untuk setiap kali sholat bagi orang yang tidak berhadas lebih bersifat anjuran (mandub), bukan suatu keharusan.
Berwudhu di waktu hendak bershalat adalah wajib. Berwudhu itu wajib atas tiap-tiap yang hendak bershalat walaupun tidak berhadas, jumhur Ulama’ berpendapat umum ayat ini dihadapkan pada orang yang berhadas, mengingat hadits yang mewajibkan wudhu terhadap yang berhadas. Wudhu diwajibkan sesudah nabi berada di Madinah.
Surat al-Maidah ayat 58 menjelaskan tentang seruan shalat yaitu mengandung syariat adzan dan iqamah. Pada saat Rasul SAW masih di Makkah tidak ada panggilan adzan secara khusus namun setelah di Madinah mulailah ada syariat adzan dan iqamah. Panggilan adzan tersebut menjadi olok-olokan orang kafir dan yahudi sehingga Allah mengingatkan dalam ayat ini bahwa mereka adalah orang-orang bodoh.
Orang yang akan melakukan shalat disunnahkan untuk adzan dan iqamah lebih dahulu. Baik di waktu bepergian, terlebih ketika sedang tinggal di rumah masing-masing.
Tatswib dalam shalat subuh merupakan taqrir (penetapan) Rasulullah SAW atas inisiatif Bilal. Oleh sebab itu, disunnahkan kepada muadzin untuk melakukannya.
Disunnahkan kepada orang yang mendengar adzan untuk diam dan tenang serta mengikutinya dalam hati apa yang diucapkan muadzin.




B.     Saran
Demikian yang dapat kami paparkan mengenai materi yang menjadi pokok bahasan dalam makalah ini, tentunya masih banyak kekurangan dan kelemahannya, kerena terbatasnya pengetahuan dan kurangnya rujukan atau referensi yang ada hubungannya dengan judul makalah ini.



















DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Hatta, Tafsir Qur’an per Kata, Jakarta, Maghfirah Pustaka: 2009.
Ibnu Mas’ud dkk, Fiqih Madzhab Syafi’i Buku I Ibadah, Bandung: Pustaka Setia, 2000.
Muhammad Amin Suma, Tafsir Ahkam, Jakarta: Pustaka Nasional, 1997.
Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Tafsir al-Bayan, Semarang: Rizki Putra, 2002.
Muhammad Nasib ar-Rifa’i, Tafsir Ibnu Katsir, Jakarta: Gema Insani, 2005.
Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, Jakarta: Lentera Hati, 2006.
Shaleh dkk, Asbabun Nuzul, Bandung: CV. Diponegoro, 1989. 
Zakiyah Drajat dkk, Ilmu Fiqih, Yogyakarta:PT. Dana Bhakti Wakaf, 1995.







[1] Ibid, hal. 85
[2] Ibid, hal. 35
[3] Shaleh dkk, Asbabun Nuzul, Bandung: CV. Diponegoro, 1989, hal.175-177

[4] M.Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, Jakarta: Lentera Hati, 2006, hal.34-39
[5]  Muhammad Amin Suma, Tafsir Ahkam, Jakarta: Pustaka Nasional, 1997, hal.14-15
[6]  Ibid, hal.20
[7]Zakiyah Drajat dkk, Ilmu Fiqih, Yogyakarta:PT. Dana Bhakti Wakaf, 1995. hal. 49-66
[8] Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Tafsir al-Bayan, Semarang: Rizki Putra, 2002, hal. 108
[9] Ahmad Hatta, op.cit, hal. 118
[10] Ahmad Hatta,  op.cit, hal. 118
[11] Muhammad Nasib ar-Rifa’i, Tafsir Ibnu Katsir, Jakarta: Gema Insani, 2005, hal.114-115
[12] Ibnu Mas’ud dkk, Fiqih Madzhab Syafi’i Buku I Ibadah, Bandung: Pustaka Setia, 2000,hal. 131

No comments:

Post a Comment