THAHARAH DAN ADZAN
MAKALAH
Disusun Guna
Memenuhi Tugas
Mata Kuliah :
Tafsir 1 (Ahkam)
SEKOLAH TINGGI
AGAMA ISLAM NEGERI KUDUS
JURUSAN
TARBIYAH/PAI
TAHUN 2014
KATA
PENGANTAR
Pertama
kami panjatkan puji dan syukur kehadirat Allah SWT, yang dengan Rahmat, Taufiq,
dan Hidayah-Nya kami telah menyelesaikan makalah ini dengan judul “THAHARAH DAN
ADZAN”.
Shalawat
dan salam kami haturkan kepangkuan Beliau Nabi Muhammad SAW yang kita nantikan
syafaat-Nya di Yaumul Qiyamah, Amin.
Makalah
ini kami buat untuk memenuhi tugas mata kuliah
Tafsir I (Ahkam). Kami menyadari bahwa makalah ini masih banyak
kekurangan dan kekhilafan.Karena itu kami menerima kritik dan saran yang
bersifat membangun demi kesempurnaan makalah ini.
Semoga
makalah ini bermanfaat bagi kita semua khususnya bagi mahasiswa tarbiyah baik
negeri maupun swasta, yang merupakan komponen MKK ( Mata Kuliah Keilmuan ).
Akhirnya
kami sampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya.
Penyusun,
Kelompok I
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Dalam ajaran Islam
menegaskan bahwa sebelum mengerjakan beberapa ibadah tertentu, terutama shalat
disyaratkan harus suci terlebih dahulu, baik suci pada diri orang yang melakukan
ibadah itu sendiri (suci dari hadas) ataupun suci pada tempat dan pakaian yang
dia kenakan saat melaksanakan ibadah tersebut (suci dari hadas). Hal ini
disyari’atkan karena Islam selalu mengajarkan umatnya untuk selalu suci
senantiasa membersihkan diri baik lahir dan batin.
Ketika kita
akan melaksanakan ibadah khususnya shalat yaitu dilakukannya adzan dan iqamah.
Adzan adalah pemberitahuan masuknya waktu shalat dengan lafadz-lafadz tertentu.
Setelah adzan barulah kemudian iqamah. Sejarah adzan itu sendiri sangat
panjang, sewaktu Rasulullah SAW masih berada di Makkah, adzan belum
disyari’atkan. Rasulullah SAW menaruh perhatian yang amat besar pada masalah
adzan, hingga Allah memperlihatkannya dalam mimpi kepada beberapa sahabatnya.
Ketika bangun tidur, Zaid langsung menemui Rasulullah untuk menceritakan
mimpinya, kemudian Rasulullah memerintahkan Bilal untuk mengumandamgkan adzan
tersebut, dan Rasulullah sendiri menerima dan mengakui adzan tersebut.
B.
Rumusan Masalah
1.
Surat apa yang membahas tentang thaharah dan adzan?
2.
Surat apa yang berkaitan dengan ayat thaharah dan adzan?
3.
Bagaimana asbabun nuzul dari ayat thaharah (al-Maidah ayat 6) dan adzan
(al-Maidah ayat 58)?
4.
Bagaimana penafsiran dari ayat thaharah (al-Maidah ayat 6) dan
adzan (al-Maidah ayat 58)?
5.
Bagaimana analisa penafsiran dari ayat thaharah (al-Maidah ayat 6)
dan adzan (al-Maidah ayat 58)?
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Thaharah
1.
QS. Al-Maidah (5) Ayat 6
$pkr'¯»t
úïÏ%©!$#
(#þqãYtB#uä
#sÎ)
óOçFôJè%
n<Î)
Ío4qn=¢Á9$#
(#qè=Å¡øî$$sù
öNä3ydqã_ãr
öNä3tÏ÷r&ur
n<Î)
È,Ïù#tyJø9$#
(#qßs|¡øB$#ur
öNä3ÅrâäãÎ/
öNà6n=ã_ör&ur
n<Î)
Èû÷üt6÷ès3ø9$#
4
bÎ)ur
öNçGZä.
$Y6ãZã_
(#rã£g©Û$$sù
4
bÎ)ur
NçGYä.
#ÓyÌó£D
÷rr&
4n?tã
@xÿy
÷rr&
uä!%y`
Ótnr&
Nä3YÏiB
z`ÏiB
ÅÝͬ!$tóø9$#
÷rr&
ãMçGó¡yJ»s9
uä!$|¡ÏiY9$#
öNn=sù
(#rßÅgrB
[ä!$tB
(#qßJ£JutFsù
#YÏè|¹
$Y6ÍhsÛ
(#qßs|¡øB$$sù
öNà6Ïdqã_âqÎ/
Nä3Ï÷r&ur
çm÷YÏiB
4
$tB
ßÌã
ª!$#
@yèôfuÏ9
Nà6øn=tæ
ô`ÏiB
8ltym
`Å3»s9ur
ßÌã
öNä.tÎdgsÜãÏ9
§NÏGãÏ9ur
¼çmtGyJ÷èÏR
öNä3øn=tæ
öNà6¯=yès9
crãä3ô±n@
ÇÏÈ
“Wahai orang-orang yang beriman!
Apabila kamu hendak melaksanakan shalat, maka basuhlah wajahmu dan tanganmu
sampai ke siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kedua kakimu sampai kedua mata
kaki. Jika kamu junub, maka mandilah. Dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan
atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, maka jika
kamu tidak memperoleh air, maka bertayamumlah dengan debu yang baik (suci);
usaplah wajahmu dan tanganmu dengan (debu) itu. Allah tidak ingin menyulitkan
kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmatNya
bagimu, agar kamu bersyukur.” (QS. Al-Maidah 5:6)1
2.
Munasabah Ayat
a.
QS. An-Nisa’ (4) Ayat 43
$pkr'¯»t
tûïÏ%©!$#
(#qãYtB#uä
w
(#qç/tø)s?
no4qn=¢Á9$#
óOçFRr&ur
3t»s3ß
4Ó®Lym
(#qßJn=÷ès?
$tB
tbqä9qà)s?
wur
$·7ãYã_
wÎ)
ÌÎ/$tã
@@Î6y
4Ó®Lym
(#qè=Å¡tFøós?
4
bÎ)ur
LäêYä.
#ÓyÌó£D
÷rr&
4n?tã
@xÿy
÷rr&
uä!$y_
Ótnr&
Nä3YÏiB
z`ÏiB
ÅÝͬ!$tóø9$#
÷rr&
ãLäêó¡yJ»s9
uä!$|¡ÏiY9$#
öNn=sù
(#rßÅgrB
[ä!$tB
(#qßJ£JutFsù
#YÏè|¹
$Y7ÍhsÛ
(#qßs|¡øB$$sù
öNä3Ïdqã_âqÎ/
öNä3Ï÷r&ur
3
¨bÎ)
©!$#
tb%x.
#qàÿtã
#·qàÿxî
ÇÍÌÈ
“Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam keadaan
mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan, (jangan pula hampiri
mesjid) sedang kamu dalam keadaan junub, terkecuali sekedar berlalu saja,
hingga kamu mandi. dan jika kamu sakit atau sedang dalam musafir atau datang
dari tempat buang air atau kamu Telah menyentuh perempuan, Kemudian kamu tidak
mendapat air, Maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik (suci); sapulah
mukamu dan tanganmu. Sesungguhnya Allah Maha Pema'af lagi Maha Pengampun”. (QS.
An-Nisa’ 4:43)[1]
b. QS. Al-Baqarah (2) Ayat 222
tRqè=t«ó¡our
Ç`tã
ÇÙÅsyJø9$#
(
ö@è%
uqèd
]r&
(#qä9ÍtIôã$$sù
uä!$|¡ÏiY9$#
Îû
ÇÙÅsyJø9$#
(
wur
£`èdqç/tø)s?
4Ó®Lym
tbößgôÜt
(
#sÎ*sù
tbö£gsÜs?
Æèdqè?ù'sù
ô`ÏB
ß]øym
ãNä.ttBr&
ª!$#
4
¨bÎ)
©!$#
=Ïtä
tûüÎ/º§qG9$#
=Ïtäur
úïÌÎdgsÜtFßJø9$#
ÇËËËÈ
“Mereka
bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah: "Haidh adalah suatu
kotoran". Oleh karena itu, jauhilah istri pada waktu haidh; dan janganlah
kamu mendekati mereka sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci,
campurilah mereka sesuai dengan (ketentuan) yang diperintahkan Allah kepadamu.
Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang betobat dan menyukai orang yang
menyucikan diri.” QS. Al-Baqarah (2:222)[2]
3.
Asbabun Nuzul
Dalam suatu
riwayat dikemukakan bahwa kalung ‘Aisyah ra. telah jatuh dan hilang di suatu
lapangan dekat kota Madinah. Rasulullah SAW. memberhentikan untanya lalu turun,
untuk mencarinya kemudian istirahat hingga tertidur di pangkuan ‘Aisayah ra. .
Tiada lama kemudian datanglah Abu Bakar menampar ‘Aisyah ra. sekerasnya seraya
berkata: “Kamulah yang menahan manusia karena sebuah kalung”. Kemudian Nabi
SAW. terbangun dan tibalah waktu Shubuh. Beliau mencari air tapi tidak
mendapatkannya, maka turunlah ayat ini (S.5:6). Maka berkatalah Usaid bin
Mudlair: “Allah telah memberi berkah bagi manusia dengan sebab keluarga Abu
Bakar”. Ayat ini mewajibkan berwudlu atau tayammum sebelum sholat. Diriwayatkan
oleh al-Bukhari dari ‘Amr bin al-Harts dari Abdurrahman bin al-Qasim dari
bapaknya yang bersumber dari ‘Aisyah ra.
Dalam riwayat lain dikemukakan bahwa
setelah terjadi peristiwa kehilangan kalung ‘Aisyah ra. yang menimbulkan fitnah
yang besar, pada suatu ketika dalam suatu peperangan beserta Rasulullah SAW,
kalung ‘Aisyah jatuh lagi, sehingga orang-orang terhalang pulang karena perlu
mencari kalung yang hilang itu. Berkatalah Abu Bakar kepada ‘Aisyah: “wahai
anakku tiap-yipa perjalanan kau selalu menjadi balak dan menjengkelkan orang
lain”. Maka Allah menurunkan ayat ini (S.5:6) yang membolehkan tayamum,
sehingga Abu Bakar berkata: “sesungguhnya kau membawa berkah”. Diriwayatkan
oleh at-Thabarani dari ‘Ubbad bin Abdullah bin Zubair yang bersumber dari
‘Aisyah.
Dalam pada itu
al Suyuthi memberikan keterangan bahwa ada dua hal yang patut dicatat berkenaan
dengan azbabun nuzul di atas.
·
Hadits al-Bukhari dari riwayat Amr bin al Harts dengan jelas
menyatakan bahwa ayat tayamum yang diriwayatkan dalam berbagai hadits ialah
ayat al Maidah, dan banyak riwayat lagi yang mengemukakan ayat tayamum tanpa
menyebutkan sumber suratnya. Menurut Ibnu Abdilo Bar riwayat seperti itu midlal
karena tidak jelas ayat yang mana dari kedua ayat itu yang dimaksud oleh
aisyah. Ibnu Abdil Bar tidak mendapatkan
dalilyang memperkuat hadits itu.
Menurut Ibnu Batthal riwayat itu berkenaan dengan ayat dalam suarat
An-nisa, dengan alasan, ayat al Maidah diberi ayat wudhu, dan ayat di surat
An-nisa tidak disebut sebut ayat wudhu, jadi bisa ditujukan ayat ini khusus
untuk tayamum.
Menurut al-Wahidi, hadits Bukhari ini juga merupakan dalil azbabun
nuzul bagi ayat an-Nisa sehingga tidak sah lagi dianggap lebih berat benarnya
oleh al Bukhari sebagai azbabun nuzulnya ayat al Maidah itu. Ini lah jalan
keluar yang dikemukakan oleh al-Wahidi dalam menetapkan azbabun nuzul dari ayat
tersebut.
·
Hadits Bukhari ini menunjukkan bahwa wudhu telah diwajibkan kepada
umat islam sebelum turun ayat ini. Oleh karena itu mereka merasa berkeberatan untuk
berhenti di tempat yang tidak ada air itu, hingga Abu Bakar mengatakan kepada
‘Aisyah bahwa dia membawa berkah (tegasnya membolehkan tayamum).
Menurut Ibnu Abdil Bar bahwa ahli sejarah peperangan telah maklum,
bahwa sesungguhnya Rasulullah SAW. selalu berwudhu untuk sholat (sejak mulai
sholat difardhukan), dan tidak ada yang membantahnya kecuali yang bodoh atau
pembangkang. Adapun hikmah turun ayat perintah wudhu yang didahului dengan
amalnya ialah agar supaya fardhunya wudhu diperkuat dengan turunya ayat.
Menurut yang lainnya, boleh jadi awal ayat itu diturunkan lebih
dahulu berkenaan dengan fardhu wudhu, dan sisanya diturunkan kemudian berkenaan
dengan tayamum di dalam riwayat tersebut di atas.
Menurut As Suyuthi, yang pertama itu yang benar karena fardhunya
wudhu itu ditetepkan di Mekkah bersamaan dengan fardhunya shalat, padahal ayat
ini Madaniyah.[3]
4.
Penafsiran
Dari sini, ayat ini mengajak dan menuntun: Hai orang-orang yang
beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, yakni telah berniat dan
membulatkan hati untuk melaksanakan shalat, sedang saat itu kamu dalam keadaan
tidak suci atau berhadas kecil, maka berwudhulah, yakni basuhlah muka
kamu seluruhnya dan tanagn kamu ke siku, yakni sampai dengan siku, dan sapulah, sedikit
sebagian atau seluruh kepala kamu dan basuhlah atau sapulah kedua
kaki-kaki kamu sampai dengan kedua mata kaki, dan jika kamu junub, yakni
keluar mani dengan sebab apapun dan atau berhalangan shalat bagi wanita maka
mandilah, yakni basahilah seluruh bagian badanmu.
Setelah
menjelaskan cara bersuci wudhu dan mandi dengan menggunakan air, lalu
dijelaskan cara bersuci jika tidak mendapatkan air atau tidak dapat
menggunakannya. Penjelasan itu adalah dan jika
kamu sakit, yang menghalangi kamu menggunakan air, karena khawatir
bertambah penyakit atau memperlambat kesembuhan kamu atau dalam perjalanan yang
dibenarkan agama dalam jarak tertentu, atau kembali dari tempat buang air
(kakus) setelah selesai membuang hajat, atau menyentuh perempuan, yakni terjadi
pertemuan dua alat kelamin, lalu kamu tidak memperoleh air, yakni tidak dapat
menggunakan, baik karena tidak ada atau tidak cukup, tau karena sakit, maka
bertayamumlah dengan tanah yang baik, yakni suci. Untuk melaksanakan tayamum
sapulah muka kamu dan tangan kamu dangan tanah itu. Allah Yang Maha Kaya dan
Kuasa itu tidak menghendaki untuk menjadikan atas kamu sedikitpun, karena itu
disyari’atkanNya kemudahan-kemudahan untuk kamu, karena Dia hendak membersihkan
kamu lahir dan batin denagan segala macam ketetapnNya, baik yang kamu ketahui
hikmahnya maupun tidak dan agar Dia menyempurnakan nikmatNya bagi kamu, dengan
meringankan apa yang kamu menyulitkan kamu, memberi izin dan atau mengganti
kewajiban dengan sesuatu yang lebih mudah supaya kamu bersyukur.
Firman-Nya:
) اذا قنتم الى الصلاة ) apabila kamu telah akan mengerjakan shalat,
menunjukkan perlunyan niat bersuci guna sahnya wudhu, karena kalimat telah akan
mengerjakan berarti adanya tujuan mengerjakan, dan tujuan itu adalah niat, dan
niat yang dimaksud adalah untuk melaksanakan shalat, bukan untuk membersihkan
diri atau semacamnya, baik diucapkan atau tidak
Firman-Nya: ( فا غسلوا ) basuhlah, berarti mengalirkan air pada anggota badan yang
dimaksud. Sementara ulama menambahkan keharusan menggosok anggota badan saat
mengalirkan air.
Firman-Nya : ( وايديكم الى المرافق ) dan tangan kamu sampai dengan siku, dapat
dipahami dalam arti sempit dan luas. Para ulama berbeda pendapat tentang kata ila,
apakah itu berarti sampai, sehingga siku-siku termasuk yang wajib dibasuh
atau tidak. Mayoritas ulama berpendapat bahwa siku-siku wajib dibasuh. Karena
itu terjemahan di atas menyatakan sampai dengan sunah Rasul SAW pun
menginformasikan beliau berwudhu dengan tangan bersama dengan siku beliau.
Firman-Nya: ( وامسحوا برءوسكم ) sapulah kepala kamu. Setelah disepakati
ulama tentang wajibnya menggunakan air ke kepala, mereka berbeda pendapat tentang
batas minimal yang wajib.
Firma-Nya: ( برءوسكم ) dengan kepala kamu,
dan karena kepala disapu yakni tidak harus dibasuh dan dicuci, maka cukup
disapu dengan air walau hanya dengan sedikit air.
Firman-Nya: ( فامسحوا بوجو هكم وايديكم منه ) maka sapulah mukamu dan tanganmu dengan
tanah itu, menunjukkan bahwa dalam bertayamum hanya wajah dan tangan ynag harus
disapu dengan tanah, apapun sebab bertayamum dan tujuannya apakah sebagai
pengganti wudhu atau mandi.[4]
5.
Analisa
Ahmad Bukhori dan Muslim juga meriwayatkan hadits dari Abu Hurairah
yang intinya menyatakan bahwa Allah SWT. tidak akan menerima sholat salah
seorang dari kamu yang berhadas sampai dia berwudhu. Hadits tersebut
menunjukkan bahwa kaum muslimin pada zaman nabi tidak selalu berwudhu untuk
setiap kali mengerjakan sholat kalaupun nabi SAW. sendiri tidak disebut-sebut
berwudhu setiap kali hendak menegakkan sholat, itu semata-mata menunjuk pada
suatu kebiasaan yang baik, tidak merupakan suatu kewajiban. Sebab, paling tidak
pada peristiwa pembebasan kota Mekkah, nabi sendiri dihadapan orang banyak
pernah menegakkan beberapa sholat dengan hanya sekali berwudhu. Sunnah nabi ini
mengidentifikasi kebolehan satu kali berwudhu untuk sejumlah sholat, tentu saja
selama orang yang bersangkutan belum berhadas atau tidak batal wudhunya.
Dari keterangan di atas dapatlah diketahui bahwa melakukan wudhu
untuk setiap kali sholat pada dasarnya merupakan keharusan (‘azimah), dan
itulah yang paling afdhal. Namun demikian kewajiban berwudhu untuk setiap kali
shalat itu hanya dibebankan kepada orang-orang yang berhadas, tidak pada yang
masih memiliki wudhu. Atau dengan kalimat lain, melakukan wudhu untuk setiap
kali sholat bagi orang yang tidak berhadas lebih bersifat anjuran (mandub),
bukan suatu keharusan.[5]
Setelah Alah SWT menerangkan berbagai kewajuiban penggunaan air
dalam berwudhu dan mandi ketika bermaksud hendak menegakkan sholat, Allah menerangkan
bahwa kewajiab menggunakan air oleh orang yang berwudhu ndan mandi junub itu
terkait dengan dua. Pertama, air itu sendiri memang ada. Kdua, orang yang
bersangkutan memiliki kemampuan untuk menggunakannya, karena sakit dan lain
sebagainya, maka baginya dibolehkan bertayamum. Atau dengan kalimat lain,
kewajiban bersuci (mandi dan wudhu) bergeser dari kewajiban menggunakan air
menjadi dibolehkan bertayamum.
Lahiriah nash di atas membolehkan tayamum secara mutlak bagi setiap
orang yang sakit apaun. Hanya saja, sakit yang dibolehkan bertayamum ialah
sakit yang apabila terkena air akan semakain bertambah penyakitnya seperti
luka, kudis, dan lain-lainnya. Penyakit kulit yang menurut perkiraan atau
petunjuk dokter dikhawatirkan berbahaya. Demikian pula halnya dengan sakit yang
mengakibatkan si sakit tidak merasa sanggup untuk berwudhu atau mandi denagn
menggunakan air dingin, seperti orang demam yang menggigil. Dengan demikian
maka penyakit atau sakit yang tidak membahayakan seseorang untuk berwudhu dan mandi
denagn menggunakan air, maka tidak dibenarkan bertayamum hanya sekedar sakit
flu, sakit gigi dan lainnya.[6]
a.
Pengertian Thaharah
Kata thaharah dalam bahasa Arab yang dapat diartikan bersuci dari
kotoran, baik kotoran yang bersifat hissy
(inderawi) maupun bukmi (secara
umum)’ dalam istilah fiqih diartikan membersihkan badan, pakaian dan tempat
dari najissebelum kita melakukan ibadahseperti shalat, thawaf dalam ibadah haji
dan sebagainya. Hal ini tidak berarti bahwa bersuci itu hanya dilakukan ketika
kita akan melakukan ibadah saja, melainkan juga dalam segala waktu dan keadaan.
Karena bersuci atau thaharah hukumnya wajib. Adapun cara-cara bersuci adalah
sebagai berikut:
1.
Wudhu
Wudhu menurut bahasa berarti baik dan bersih sedangkan menurut
istilah syara’ wudhu adalah membasuh muka, dan kedua tangan sampai siku,
mengusap sebagian kepala, dan membasuh kaki didahului dengan niat dan dilakukan
dengan tertib. Perintah wudhu diberikan kepada orang yang akan mengerjakan
shalat, dan menjadi salah satu dari syarat sahnya shalat dan ibadah lainnya.
Perintah berwudhu bersamaan dengan perintah shalat wajib lima waktu sehari
semalam.
2.
Mandi
Dalam syari’at Islam mandi adalah meratakan air yang suci pada
seluruh badan dengan disertai niat. Dengan demikian niat merupakan hal yang
membedakan antara mandi biasa dengan mandi wajib (janabah). Disyariatkannya
mandi berdasar firman Allah dalam al-Qur’an yang artinya: “apabila kamu sekalian dalam keadaan junub maka mandilah” (QS. Al-Maidah:7)
Adapun cara melakukan mandi wajib adalah:
-
Membasuh kedua tangan dengan niat yang ikhlas karena Allah
-
Membersihkan kotoran yang ada pada badan
-
Berwudhu (membasuh anggota wudhu)
-
Menyiram rambut dengan air sambil menggosok dan menyilanginya
dengan jari
-
Menyiram seluruh badan sebelah kanan dan menggosoknya dengan rata.
3.
Tayammum
Apabila seseorang junub atau seseorang akan mengerjakan shalat,
orang tersebut tidak mendapatkan airuntuk mandi atau untuk wudhu, maka sebagai
ganti untuk menghilangkan hadats besar atau kecil tersebut dengan melakukan
tayammum. Tayammum menurut bahasa sama dengan qasad artinya menuju. Sedangkan
menurut pengertian syara’, tayammum adalah menuju kepada tanah untuk menyapukan
dua tangan dan muka dengan niat agar dapat mengerjakan shalat.
Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Imran
bin Hushani, beliau berkata:
“Kami beserta Rasulullah SAW
dalam suatu kepergian, maka melaksanakan shalat beserta orang banyak. Maka
tiba-tiba ada seorang yang menyendiri. Maka Nabi bersabda: ”Apa yang
menghalangimu untuk melaksanakan shalat?” berkata oarang tersebut: “Kami
mengalami janabat dan tidak mendapatkan air” Nabi bersabda: ‘Pakailah debu
(untuk bertayammum) karena tayammum itu cukup untukmu” (HR. As-Syaikhani)[7]
Dalam ayat di atas memberi pengertian bahwa:
a.
Berwudhu di waktu hendak bershalat adalah wajib
b.
Berwudhu itu wajib atas tiap-tiap yang hendak bershalat walaupun
tidak berhadas, jumhur Ulama’ berpendapat umum ayat ini dihadapkan pada orang
yang berhadas, mengingat hadits yang mewajibkan wudhu terhadap yang berhadas
c.
Wudhu diwajibkan sesudah nabi berada di Madinah
d.
Wudhu hanya wajib untuk bershalat saja. Adapun berwudhu untuk
beberapa perbuatan lain diperoleh dari hadits.[8]
B.
Adzan
1.
QS. Al-Maidah (5) Ayat 58
#sÎ)ur
öNçG÷y$tR
n<Î)
Ío4qn=¢Á9$#
$ydräsªB$#
#Yrâèd
$Y6Ïès9ur
4
Ï9ºs
óOßg¯Rr'Î/
ÓQöqs%
w
tbqè=É)÷èt
ÇÎÑÈ
“Dan apabila kamu
menyeru (mereka) untuk (melaksanakan) shalat, mereka menjadikannya bahan ejekan
dan permainan. Yang demikian itu adalah karena mereka orang-orang yang tidak
mengerti” (QS. Al-Maidah 5:58)[9]
2.
Munasabah Ayat
QS. Al-Jumu’ah (62) Ayat 9
$pkr'¯»t
tûïÏ%©!$#
(#þqãZtB#uä
#sÎ)
ÏqçR
Ío4qn=¢Á=Ï9
`ÏB
ÏQöqt
ÏpyèßJàfø9$#
(#öqyèó$$sù
4n<Î)
Ìø.Ï
«!$#
(#râsur
yìøt7ø9$#
4
öNä3Ï9ºs
×öyz
öNä3©9
bÎ)
óOçGYä.
tbqßJn=÷ès?
ÇÒÈ
“Hai
orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum'at, Maka
bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. yang
demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui”. 11
3.
Asbabun Nuzul QS. Al-Maidah (5) Ayat 58
Ibnu ‘Abbas ra. memaparkan bahwa kedua
ayat ini diturunkan berkenaan dengan rifa’ah bin Zaid bin Tabut dan Suwaid bin
Harits. Mereka masuk Islam, tetapi kemudian mereka menjadi orang Munafik.
Beberapa orang dari kaum Muslim bersahabat dan sangat menyayangi mereka berdua.
(HR. Abu Syaikh dan Ibnu Hibbah)
Menurut al-Kalbi, apabila muadzin
mengumandangkan adzannya kaum muslimin mengerjakan shalat, mereka (orang-orang
Yahudi) saling berkata dan memperolok-olok kaum muslimin. Mereka telah berdiri,
yang sebenarnya tidak berdiri. Bahkan mereka tertawa apabila orang-orang Islam
ruku’, dan sujud, kemudian mereka mengomentari adzan tersebut seraya mengejek.
“Lihatlah mereka (orang-orang Islam) telah menciptakan suatu cara yang belum
pernah terjadi pada umat-umat sebelumnya. Dari mana mereka memperoleh teriakan
semacam itu yang seperti suara unta? Alangkah jelek dan buruknya suara itu
tersebut!” Perbuatan tersebut mereka lakukan tiada lain dalam rangka mengejek
dan memperolok-olok kaum muslimin, kemudian Allah menurunkan ayat tersebut.[10]
4. Penafsiran
Firman Allah Ta’ala, “dan jika kamu
mengajak untuk shalat maka mereka menjadikannya sebagai ejekan dan permainan”.
Yakni apabila kamu mengajak shalat maka mereka menjadikannya sebagai ejekan dan
permainan pula. “ hal itu karena mereka merupakan kaum yang tidak memahami”
konsep-konsep ibadah kepada Allah dan aneka syari’at-Nya. Inilah sifat-sifat
para pengikut setan. Jika mendengar adzan maka mereka membelakang dan menyumbat
telinganya sehingga tidak mendengar seruan. Jika adzan usai maka mereka
menghadap lagi. Jika dibacakan (tatswib) ajakan shalat maka mereka
membelakang. Jika ajakan itu usai maka mereka menghadap lalu menggoda seseorang
dengan mengatakan, “bacalah anu dan bacalah anu” terhadap sesuatu yang belum
dibaca sehingga orang itu pun tidak mengetahui sudah berapa rekaat dia shalat.
Jika salah seorang di antara kamu mendapat godaan semacam itu maka bersujudlah
dua kali sebelum salam. Keterangan yang menetapkan demikian disepakati
kesahihannya. Az-Zuhri berkata, “Allah menyebutkan soal adzan dalam kitab-Nya”.
Dia berfirman, “Dan jika kamu mengajak untuk shalat....” Demikianlah
diriwayatkan oleh Hatim.
Sehubungan dengan firman Allah, “dan
apabila kamu mengajak untuk shalat maka mereka menjadikannya sebagai ejekan dan
permainan”, Asbath meriwayatkan dari as-Sadi, dia berkata, “Ada seorang Nasrani
Madinah. Jika dia mendengar seseorang menyerukan, ‘aku bersaksi bahwa Muhammad
Rasul Allah’, maka dia berkata, ‘Mudah-mudahan si pendusta itu terbakar!’ Pada
suatu malam, pembantunya masuk ke dalam rumah sambil membawa api ketika dia dan
keluarganya sedang tidur. Kemudian ada percikan api yang jatuh, lalu membakar
rumah sehingga si Nasrani dan keluarganya pun terbakar”. Keterangan ini
diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dan Ibnu Abi Hatim.[11]
5. Analisa
a. Pengertian adzan
Adzan merupakan pemberitahuan bahwa
waktu sholat telah masuk dengan kalimat-kalimat tertentu. Sedangkan iqomah
adalah membangunkan orang yang hadir untuk melakukan shalat dengan
kalimat-kalimat tertentu.
Surat al-Maidah ayat 58 menjelaskan
tentang sikap orang-orang munafik ketika diseru untuk mengerjakian sholat yaitu
mereka mengejek dan menjadikan permainan jika muazzin mengumandangkan adzan dan
orang-orang yahudi mentertawakan dan menjadikan sendau gurau waktu ornag-orang
muslim rukuk dan sujud pada waktu sholat. Orang-orang yahudi berkata:
“benar-benar muslim memulai sesuatu yang tidak pernah mereka dengar dari umat
sebelum Islam”. Orang yahudi berkata lagi: “dari manakah suara yang
seperti jeritan unta?”. Apakah ada suara
yang lebih jelek dari itu”. Begitulah sifat orang yahudi menjadikan adzan
sebagai senda gurau dan permainan, hal itu disebabkan karena mereka adalah kaun
yang tidak berfikir.
b. Sejarah Adzan
Sewaktu
Rasulullah SAW masih berdomisili di Makka, adzan belum disyari’atkan. Namun,
apabila mereka hendak memanggil saudara-saudaranya untuk shalat, mereka
memanggilnya dengan kata-kata “ﺍﻠﺼﻼﺓﺠﺍﻤﻌﺔ”. Setelah beliau
hijrah dan kiblat telah dialihkan kembali ke Baitullah, maka disyari’atkan
adzan. Padahal Rasulullah telah pernah mendengar suara adzan tersebut pada hari
Isra’ Mi’raj.
Rasulullah
menaruh perhatian yang amat besar pada masalah adzan ini, hingga Allah
memperlihatkannya dalam mimpi kepada beberapa orang sahabatnya, diantanya
adalah Abdullah bin Zaid al-Khazzaji al-Anshari. Ketika banguntidur, Zaid
langsung menemui Rasulullah Saw dan menceritakan mimpinya. Kemudian Rasulullah
Saw memerintahkan Bilal untuk mengumandangkan adzan tersebut. Bilal menambahkan
kata-kata “ﺍﻠﺼﻼﺓﺨﻴﺮﻤﻦﺍﻠﻨﻮﻡ” dalam adzan
subuh, Rasulullah SAW sendiri mengakui dan menerimanya.
c. Hukum Adzan
Dalam
status hukumnya, para ulama’ berbeda pendapat. Di antaranya adalah sebagai
berikut:
· Malikiyyah berpendapat bahwa adzan wajib
dilakukan di masjid-masjid untuk shalat jama’ah raga manyusia dapat berkumpul.
· Assyafi’i, Abu Hanifah, Tsauri, Ahmad,
Ishak, Abu Tsaur dan Ath-Thabarani menyatakan bahwa seseorang meninggalkan
adzan baik sengaja maupun tidak, maka shalatnya dianggap tidak sah.
d. Teknis Adzan
· Malikiyyah dan Syafi’iyyah
berpendapatbahwa adzan dilakukan dua kali (diulang), sedangkan iqamah dilakukan
hanya sekali. Namun, dalam hal takbir yang pertama Syafi’iyyah mengulanginya
sampai empat kali.
· Hanafiyyah, Altsaur, dan Hasan bin Hay
berpendapat bahwa adzan dan iqamah dilakukan dua-dua. Sedangkan dalam takbir
yang pertama, baik adzan maupun iqamah dilakukan empat kali.
e. Tatswib dalam Shalat Subuh
Tatswib
adalah mengumandangkan kata-kata “ﺍﻠﺻﻼﺓﺨﻴﺮﻤﻦﺍﻠﻨﻭﻡ” pada waktu adzan
subuh. Malik, Tsauri, Laits, dan syafi’i menyatakan bahwa tatswib dalam adzan
subuh dilakukan seteleh pengucapan kata-kata “ ﺤﻲﻋﻠﻰﺍﻠﺼﻼﺓ” dua kali.
Abu Hanifah dan sahabat–sahabatnya menyatakan bahwa tatswib dalam adzhan subuh dilakukun setelah selesai
adzan. Ini pun bagi orang-orang yang menghendakinya.
f.
Waktu Adzan
Para ulama’ dan ilmuan sepakat bahwa waktu adzan dilakukun apabila
telah masuk waktu shlat. Namun dalam hal adzan subuh, mereka berselisih
pendapat.
·
Malik, Syafi’i, Ahmad dan Abu Tsaur berpendapat bahwa dalam adzan
subuh boleh dilakukan sebelum datang waktu subuh (sebelum terbit waktu fajar).
·
Abu Hanifah, Tsaur dan Muhammad bin Hasan berpendapat bahwa adzan
tidak boleh dilakukan kecuali bila telah masuk waktu shalat. Ketetapan ini juga
berlaku untuk adzan subuh
·
Segolongan ahli hadits menyatakan apabila dalam masjid terdapat
muadzin, maka hendaklah salah seorang di antara mereka beradzan sebelum fajar
terbit dan muadzin lainnya beradzan setelah waktu subuh.
g.
Orang yang Berhak Iqamah
Para ulama’ tiada kata sepakat dalam hal orang yang berhak
melakukan iqamah setelah dilakukannya adzan untuk shalat.
·
Malik, Abu Hanifah , dan para sahabat-sahabatnya menyatakan bahwa
siapa saja di antaranya orang yang hadirboleh melakukan iqamah dan tidak
diharuskan orang yang melakukan adzan.
·
Asy-Syafi’i dan Laits berpendapat barang siapa yang adzan, maka
dialah yang paling berhak untuk iqamah.[12]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dari uraian di atas dapat ditarik kesimpulan, di antaranya adalah:
Dapatlah diketahui bahwa melakukan wudhu untuk setiap kali sholat
pada dasarnya merupakan keharusan (‘azimah), dan itulah yang paling afdhal.
Namun demikian kewajiban berwudhu untuk setiap kali shalat itu hanya dibebankan
kepada orang-orang yang berhadas, tidak pada yang masih memiliki wudhu. Atau
dengan kalimat lain, melakukan wudhu untuk setiap kali sholat bagi orang yang
tidak berhadas lebih bersifat anjuran (mandub), bukan suatu keharusan.
Berwudhu di
waktu hendak bershalat adalah wajib. Berwudhu itu wajib atas tiap-tiap yang
hendak bershalat walaupun tidak berhadas, jumhur Ulama’ berpendapat umum ayat
ini dihadapkan pada orang yang berhadas, mengingat hadits yang mewajibkan wudhu
terhadap yang berhadas. Wudhu diwajibkan sesudah nabi berada di Madinah.
Surat al-Maidah
ayat 58 menjelaskan tentang seruan shalat yaitu mengandung syariat adzan dan
iqamah. Pada saat Rasul SAW masih di Makkah tidak ada panggilan adzan secara
khusus namun setelah di Madinah mulailah ada syariat adzan dan iqamah.
Panggilan adzan tersebut menjadi olok-olokan orang kafir dan yahudi sehingga
Allah mengingatkan dalam ayat ini bahwa mereka adalah orang-orang bodoh.
Orang yang akan
melakukan shalat disunnahkan untuk adzan dan iqamah lebih dahulu. Baik di waktu
bepergian, terlebih ketika sedang tinggal di rumah masing-masing.
Tatswib dalam
shalat subuh merupakan taqrir (penetapan) Rasulullah SAW atas inisiatif Bilal. Oleh
sebab itu, disunnahkan kepada muadzin untuk melakukannya.
Disunnahkan
kepada orang yang mendengar adzan untuk diam dan tenang serta mengikutinya
dalam hati apa yang diucapkan muadzin.
B.
Saran
Demikian yang dapat kami paparkan
mengenai materi yang menjadi pokok bahasan dalam makalah ini, tentunya masih
banyak kekurangan dan kelemahannya, kerena terbatasnya pengetahuan dan
kurangnya rujukan atau referensi yang ada hubungannya dengan judul makalah ini.
DAFTAR
PUSTAKA
Ahmad Hatta, Tafsir Qur’an per Kata, Jakarta,
Maghfirah Pustaka: 2009.
Ibnu Mas’ud dkk,
Fiqih Madzhab Syafi’i Buku I Ibadah, Bandung:
Pustaka Setia, 2000.
Muhammad
Amin Suma, Tafsir Ahkam, Jakarta: Pustaka Nasional, 1997.
Muhammad Hasbi
Ash-Shiddieqy, Tafsir al-Bayan,
Semarang: Rizki Putra, 2002.
Muhammad
Nasib ar-Rifa’i, Tafsir Ibnu Katsir, Jakarta: Gema Insani, 2005.
Muhammad
Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, Jakarta: Lentera Hati, 2006.
Shaleh
dkk, Asbabun Nuzul, Bandung: CV. Diponegoro, 1989.
Zakiyah
Drajat dkk, Ilmu Fiqih, Yogyakarta:PT. Dana Bhakti Wakaf, 1995.
[1] Ibid, hal. 85
[2] Ibid, hal. 35
[3] Shaleh dkk,
Asbabun Nuzul, Bandung: CV. Diponegoro, 1989, hal.175-177
[4] M.Quraish
Shihab, Tafsir al-Misbah, Jakarta: Lentera Hati, 2006, hal.34-39
[6] Ibid, hal.20
[7]Zakiyah Drajat
dkk, Ilmu Fiqih, Yogyakarta:PT. Dana Bhakti Wakaf, 1995. hal. 49-66
[8] Muhammad Hasbi
Ash-Shiddieqy, Tafsir al-Bayan,
Semarang: Rizki Putra, 2002, hal. 108
[11] Muhammad Nasib
ar-Rifa’i, Tafsir Ibnu Katsir, Jakarta: Gema Insani, 2005, hal.114-115
No comments:
Post a Comment