Sunday 4 May 2014

FORMULA PENDIDIKAN AGAMA ISLAM YANG HUMANIS DAN RELIGIUS

FORMULA PENDIDIKAN AGAMA ISLAM YANG HUMANIS DAN RELIGIUS
Oleh: HM. Ihsan



A.            Pendahuluan
Pendidikan, memiliki peran strategis sebagai sarana human resources dan human investment. Selain bertujuan menumbuhkembangkan kehidupan yang lebih baik, pendidikan juga telah nyata-nyata ikut mewarnai dan menjadi landasan moral dan etik dalam proses pemberdayaan jati diri bangsa.[1] Sedemikian pentingnya pendidikan, terutama pendidikan agama Islam, maka wajar jika hakekat pendidikan merupakan proses humanisasi, yang berimplikasi pada proses kependidikan dengan orientasi pengembangan aspek-aspek kemanusiaan manusia, yakni aspek fisik-biologis dan ruhaniah-psikologis.[2] Aspek rohaniah-psikologis inilah yang dicoba didewasakan dan di-insan kamil-kan melalui pendidikan sebagai elemen yang berpretensi positif dalam pembangunan kehidupan yang berkeadaban.[3] Dari pemikiran ini, maka pendidikan merupakan tindakan sadar dengan tujuan memelihara dan mengembangkan fitrah serta potensi (sumber daya) insani menuju terbentuknya manusia seutuhnya (insan kamil).[4]
Sementara itu, beberapa ahli mensinyalir  terjadinya “dehumanisasi” pendidikan, dengan indikasi terkikisnya nilai-nilai kemanusiaan yang dikandungnya. Bahkan pendidikan mengalami “kegagalan” apabila kita lihat dari beberapa kasus yang muncul ke permukaan. Kasus kekerasan yang merebak dalam kehidupan kebangsaan dan kemasyarakatan kita, mengindikasikan bahwa pendidikan belum mempunyai peran signifikan dalam proses membangun kepribadian bangsa kita yang punya jiwa sosial dan kemanusiaan. Radikalisme agama adalah salah satu problem nasional yang perlu dipecahkan. Salah satu upaya strategisnya adalah dengan membangun paradigma pendidikan yang berwawasan kemanusiaan (humanis). Pendidikan sesungguhnya bukan semata-mata momen “ritualisasi”, tetapi implemntasi dua variabel pokok yaitu teoritis dan praktis[5] untuk menghasilkan insan-insan pendidikan yang memiliki karakter manusiawi dan sarat keilmuan yang meniscayakan jaminan atas perbaikan kondisi sosial yang ada.
Secara normatif, Islam telah memberikan landasan kuat bagi pelaksanaan pendidikan. Pertama, Islam menekankan bahwa pendidikan merupakan kewajiban agama dimana proses pembelajaran dan transmisi Ilmu sangat bermakna bagi kehidupan manusia. Inilah latar belakang turunnya wahyu pertama dengan perintah membaca, menulis, dan mengajar.[6] Kedua, seluruh rangkaian pelaksanaan pendidikan adalah ibadah kepada Allah SWT. Sebagai sebuah ibadah, maka pendidikan merupakan kewajiban individual sekaligus kolektif , Ketiga, Islam memberikan derajat tinggi bagi kaum terdidik, sarjana maupun ilmuwan. Keempat, Islam memberikan landasan bahwa pendidikan merupakan aktivitas sepanjang hayat. (long life education). Sebagaimana Hadist Nabi tentang menuntut ilmu dari sejak buaian ibu sampai liang kubur).[7] Kelima, kontruksi pendidikan menurut Islam bersifat dialogis, inovatif dan terbuka dalam menerima ilmu pengetahuan baik dari Timur maupun Barat.
Kemajuan teknologi dan globalisasi menghilangkan sekat dunia. Peristiwa yang terjadi di belahan dunia sana, pada saat bersamaan bisa disaksikan di dalam rumah kita sendiri melalui layar televisi, internet dan fasilitas teknologi informasi lainnya yang secara langsung maupun tidak akan dapat mempengaruhi perkembangan jiwa anak-anak pada usia remaja yang memiliki kecenderungan untuk mencoba-coba sesuatu, tidak sabar, mudah terbujuk dan selalu ingin menampakkan egonya. Fakta tersebut memerlukan perhatian dari pendidikan, utamanya pendidikan agama Islam.
Pendidikan Agama Islam (PAI) pada sekolah, madrasah dan Perguruan Tinggi selama ini lebih berorientasi pada norma agama daripada problem subyek didik. Ajaran agama Islam dipahami kemudian disistematisasi menjadi lima aspek yaitu Al-Qur’an-Hadis, Aqidah/Keimanan, Akhlak, Fikih/Ibadah dan SKI. Sedangkan para ahli merancang pendidikan berangkat dari kondisi obyektif subyek didik secara mendalam, kemudian melakukan analisis hal-hal apa saja yang diperlukan oleh subyek didik bahkan melakukan diagnosis sampai ditemukan persoalan-persoalan yang ada pada subyek didik. Dari temuan-temuan itu kemudian mereka rancang sistem, pola, atau model pendidikan. John P. Miller, misalnya, melakukan penelitian terhadap subyek didik lebih dari tujuh tahun dan menemukan bahwa keterasingan siswa di sekolah menjadi pemicu munculnya berbagai penyimpangan, seperti tawuran, pergaulan bebas, putus sekolah, kecanduan narkoba bahkan sampai bunuh diri. Kemudian dia rancang model pendidikan yang terkenal dengan nama Humanizing the Classroom, Models of Teaching in Affective Education.
Dua konsep tersebut perlu dikoneksikan agar terbentuk sinergi antara teks ajaran terutama al Qurán sebagai landasan normatif umat Islam dengan praktek pendidikan Islam di era global seperti sekarang ini. Artinya, pendidikan Islam (PAI) sebagai misi pembentukan insan kamil di era modern dapat dianggap gagal dalam membumikan universalitas ajaran Islam dan terjebak dalam dehumanisasi, karena kurang memperhatikan aspek peserta didik. Dalam prakteknya, Institusi pendidikan lebih merupakan proses transfer ilmu dan keahlian daripada usaha pembentukan kesadaran dan kepribadian anak didik sebagai pembimbing moralnya melalui ilmu pengetahuan yang dimiliki. Padahal, kecenderungan pendidikan yang sekedar transfer ilmu dan keahlian dan mengabaikan pembangunan moralitas merupakan ciri utama dehumanisasi pendidikan.[8]

B.            Konsep Pendidikan Humanis dan Religius
Merujuk pada rumusan dasar negara Republik Indonesia, praktik pendidikan yang dicita-citakan oleh para pendiri bangsa ini adalah pendidikan yang bercorak humanis religius. Konsep ini ditarik dan diabstraksikan dari sila “Ketuhanan yang Maha Esa”, serta “Kemanusiaan yang Adil dan Beradab”. Untuk menjaga dan menumbuhkan nilai-nilai humanis religius, bangsa Indonesia memiliki cara yang unik. Bukan sekulerisme radikal yang menjadi pilihan, sebab ia tidak mempedulikan agama di ranah publik. Juga bukan kebijakan teokratis yang serba agama. Politik pendidikan agama konvensional yang menjadi pilihan. Melalui kebijakan ini, negara mengakui pluralitas agama sekaligus bertanggung jawab mendidik warga agar menjadi pemeluk agama yang taat. Orang-orang yang taat beragama diharapkan dapat memantulkan cahaya religiusitasnya itu ke dalam sikap dan perilaku yang terpuji.
Gagasan pendidikan yang humanis dan religius dapat dipertimbangkan secara normatif konseptual, termasuk kebijakan politik pendidikan agamanya. Namun yang menjadi masalah adalah mengapa dalam perjalanan 68 tahun, gagasan dan kebijakan tersebut diimplementasikan belum terlihat, bahkan tampak semakin kabur dan menjauh. Bahkan ada kecenderungan orang-orang berpendidikan tinggi, yang seharusnya mampu menjadi teladan dalam menampilkan kepribadian luhur, menjadi sebaliknya yaitu gaya hidupnya hedonistik, serba permisif, menjarah kekayaan bangsa tanpa rasa bersalah, pamer kemilau kuasa dan harta semakin kasat mata sementara sebagian besar rakyat hidup dalam belitan kemiskinan dan penderitaan yang akut. Alih-alih menjadi warga negara yang berkarakter humanis religius, output pendidikan kita malah melahirkan dan menumbuhkan orang-orang yang berkarakter memiliki (having character). Merebaknya karakter ini terlihat begitu mencolok dalam bentuk lahirnya orang-orang yang bermental serakah dan dan mabuk kekuasan.
Ada dua konsep yang perlu dirujuk, yaitu pendidikan humanis di satu sisi dan pendidikan religius di sisi yang lain. Pendidikan humanis merupakan tanggapan dan kritik terhadap praktik pendidikan tradisional.[9] Ciri pendidikan tradisional yang ditolak kalangan humanis adalah: guru otoriter, pengajaran menekankan buku teks, siswa pasif hanya mengingat informasi dari guru, ruang belajar terbatas di kelas yang terasing dari kehidupan nyata dan menggunakan hukuman fisik dan menakut-nakuti siswa untuk membangun kedisiplinan. Konsep humanisme adalah memanusiakan manusia sesuai dengan perannya sebagai khalifah di bumi ini.
Al-Qur`an menggunakan empat term untuk menyebutkan manusia, yaitu basyar, al-nas, bani adam dan al-insan. Term basyar secara umum digunakan untuk menjelaskan bahwa manusia itu sebagai makhluk biologis. Sedangkan term al-nas (disebut 240 kali) digunakan untuk menjelaskan bahwa manusia itu sebagai makhluk sosial. Kemudian, term bani adam diulang di dalam al-Qur`an sebanyak 7 kali[10] menunjukkan bahwa manusia itu sebagai makhluk rasional dan kata keempat menggunakan term al-insan diulang di dalam al-Qur`an sebanyak 65 kali dan 24 derivasinya yaitu insa 18 kali dan unas 6 kali[11] digunakan untuk menjelaskan bahwa manusia itu sebagai makhluk spiritual. Dengan demikian, maka manusia memiliki potensi unik pada ranah biologis, sosial, intelektual dan spritual, yang sangat potensial untuk dikembangkan oleh dan melalui proses pendidikan.
Praktik pendidikan humanis bertujuan memanusiakan manusia sehingga seluruh potensinya dapat tumbuh secara penuh dan menjadi pribadi utuh yang bersedia memperbaiki kehidupan. Prinsip-prinsip pendidikan humanis meliputi: guru sebagai teman belajar, pengajaran berpusat pada anak, fokus pada keterlibatan dan akivitas siswa, siswa belajar dari pengalaman kehidupan dan membangun kedisiplinan secara kooperatif dan dialogis. Seorang pendidik humanis selalu membuka ruang kebebasan pada setiap individu untuk membangun diri sesuai cita-cita yang dicanangkan. Tujuan pendidikan religius untuk meninggikan moral, melatih dan mempertinggi semangat, menghargai nilai-nilai spiritual dan kemanusiaan, mengajarkan sikap dan tingkah laku yang jujur dan bermoral dan menyiapkan siswa untuk hidup sederhana dan bersih hati.[12]
Integrasi dan sinergi keduanya dapat melahirkan konsep pendidikan yang ideal sesuai falsafah bangsa Indonesia. Pendidikan humanis religius adalah pendidikan yang dapat membangun moral manusia yang baik (akhlakul karimah) dan menumbuhkan kapasitas (kemampuan) diri secara penuh sehingga mampu merealisasikan tujuan kehidupan secara produktif.[13] Hakikat pendidikan humanis menurut Abdul Munir Mulkhan mencakup tiga entitas, yaitu; 1) Pendidikan sebagai proses peneguhan keunikan manusia. Maksudnya, kesadaran keunikan diri sebagai pengalaman otentik perlu ditempatkan sebagai akar pendidikan, pengembangan politik kebangsaan, dan kesalehan religius. Keunikan adalah basis pribadi kreatif dan kecerdasan setiap orang dengan kemampuan dan sikap hidup berbeda. 2) Pendidikan sebagai proses akumulasi pengalaman manusia. Maksudnya, proses pendidikan perlu ditempatkan sebagai media pengayaan (akumulasi) pengalaman. 3) Pendidikan sebagai proses penyadaran. Hakikat pendidikan menurut Mulkhan tidak lain sebagai proses penyadaran diri dari realitas universum. Penyadaran bukan awal sebuah dinamika kehidupan melainkan akar dari seluruh dinamika kehidupan yang terus aktual dan terpelihara. Sementara itu, aplikasi konsep pendidikan humanis Abdul Munir Mulkhan dalam pendidikan agama Islam menyentuh wilayah tujuan, kurikulum, evaluasi, metode, pendidik dan peserta didik.
Sesungguhnya, praktik pendidikan di Indonesia bercorak religius sebab pendidikan agama diajarkan sejak usia dini sampai perguruan tinggi. Terlebih di lembaga pendidikan yang bernapas keagamaan seperti madrasah maupun sekolah-sekolah keagamaan. Hanya penyajiannya masih bersifat parsial dan terlalu berat pada dimensi ritual. Dalam perspektif humanis religius, pendidikan agama disuguhkan untuk: memupuk sikap positif terhadap kehidupan, memahami kenyataan sosial dan kontradiksi yang ada dalam masyarakat dan merangsang siswa untuk mengamalkan iman dalam seluruh dimensi kehidupan. Sebagaimana dikemukakan di atas, tidak begitu mengejutkan bahwa praktik pendidikan di sekolah kita cenderung tidak humanis.

C.            Pendidikan Agama Islam Berbasis Pesantren
Secara umum esensi perubahan yang dialami oleh madrasah adalah untuk meningkatkan kualitas dan mensejajarkan madrasah dengan sistem persekolah (sekolah umum). Meskipun pada kenyataannya sampai saat ini masih terjadi perbedaan persepsi dalam implementasi, terutama dalam memaknai, merumuskan, dan mewujudkan ciri khas Islam. Apa dan bagaimana implementasi "pendidikan yang dijiwai ajaran agama Islam"? Satu hal yang mereka sepakati adalah rumusan dan implementasi "dijiwai ajaran agama Islam" ini harus diberikan dalam bentuk formal yang terumuskan dalam kurikulum yang tersimbolkan dalam mata pelajaran. Rumusan implementasi[14] "pendidikan yang dijiwai suasana keagamaan", sesuai kapasitas dan konteks masing-masing relatif sudah terumuskan dan terlaksana. Karena pemahaman untuk rumusan ini lebih mudah untuk dipahami dan diwujudkan dalam praktik. Secara umum, madrasah mewujudkan suasana keagamaan ini dilaksanakan dalam bentuk penciptaan lingkungan madrasah dengan berbagai kegiatan yang bersumber dari nilai/ajaran islam yang berujung pada terciptanya budaya yang Islami, mulai dari cara berpakaian, bertutur kata, pergaulan sampai pada berbagai bentuk latihan/ praktik ritual keagamaan. Secara teknis pelaksanaan kegiatan tersebut ada yang terstruktur dalam format kurikuler, hiden curriculum maupun ekstra kurikuler.[15]
Berangkat dari beberapa fakta bahwa pesantren adalah model pendidikan agama islam yang telah terbukti berhasil mencetak generasi tafaqquh fi al diin dan berakhlak karimah. Tentunya, tanpa melupakan beberapa kelebihan dan kelemahannya.  Melihat dan berangkat dari keunggulan pesantren, perlu dilakukan sintesa  yang mengarah pada sistem pendidikan agama Islam berbasis pesantren. Makna dan pengertian “basis” harus disikapi secara luas dan komprehensif. Artinya, kata basis tidak hanya merujuk pada pengertian fisik, akan tetapi yang jauh lebih urgen adalah basis nilai dan kultur pesantren. Secara institusional, madrasah memang memiliki kelebihan dibanding pesantren dalam hal tata administrasi dan birokrasi pendidikan. Hal ini merupakan pengelolaan modern atas sistem pendidikan, yang membuat sistem madrasah terukur, jika dibanding dengan pola pesantren yang lebih bersifat kultural. Disamping itu, pesantren di sisi lain memiliki kelebihan yang bisa menyempurkan sistem pendidikan Islam di madrasah. Kelebihan ini terletak pada sistem pendidikannya yang mengakar pada tradisi keilmuan Islam dan tradisi dari peradaban Islam itu sendiri. Dengan demikian, upaya penyempurnaan pendidikan Islam kita haruslah mengarah pada pendasaran kembali sistem pendidikan Islam kepada tradisi Islam, meskipun tetap dengan tata kelola institusional ala madrasah. Di dalam proses penyempurnaan ini, tentu ada hal-hal dari madrasah yang dikurangi. Upaya ini merupakan usaha untuk mendedominasikan sistem sekolah atas pendidikan Islam. Salah satunya melalui penambahan mata pelajaran keilmuan Islam, sehingga pelajaran Islam tidak lagi minimalis, melainkan maksimalis. 
Memang di satu titik telah terjadi persilangan antara madrasah dan pesantren. Hal ini terjadi pada pesantren yang mendirikan madrasah di dalamnya. Serta madrasah yang memiliki sistem nilai dan kurikulum pesantren. Pada yang pertama, pesantren telah menyempurnakan diri sehingga mau memasukkan pola sistem sekolah ke dalam sistem pendidikan tradisionalnya. Hal ini tentu menggugurkan tesis keterbelakangan pesantren. Hal yang sama terjadi pada madrasah yang telah mengadopsi sistem nilai dan kurikulum pesantren. Dalam kaitan ini, madrasah telah menyempurnakan diri melalui pesantrenisasi sistem pendidikannya.
Seperti telah dijelaskan di atas, konsep pendidikan agama islam berbasis pesantren adalah adopsi nilai dan sistem pesantren dalam pengelolaan madrasah sebagai ”sekolah umum” dengan Islam sebagai ”ciri khasnya”. Tujuan dari konsep ini adalah dalam rangka penguatan atas berbagai kekuarangan yang terjadi pada madrasah, terurtama bidang PAI.  Merujuk pada SI dan SKL, perbedaan antara sekolah dan madrasah adalah terletak pada tujuan dan cakupan materi PAI. Tujuan mata pelajaran PAI di SMP/SMA adalah: (1) memberikan wawasan terhadap keberagaman agama di Indonesia, (2) meningkatkan keimanan dan ketaqwaan siswa. Karena rumusan tujuannya yang lebih simpel (global), maka PAI untuk SMA diberikan secara global dalam satu mata pelajaran. Berbeda dengan SMP/SMA, karena Islam menjadi ciri khasnya maka komposisi PAI untuk MTs./MA menjadi lebih banyak (mata pelajaran dan alokasi waktu) dan pembahasannya lebih mendalam dalam rangka mencapai tujuan spesifiknya. Sebagai sub-sistem pendidikan nasional, ada tiga tujuan yang harus di capai oleh Mts./MA, yaitu: (a) tujuan pendidikan nasional, (b) tujuan pendidikan menengah, dan (c) tujuan spesifik pendidikan MTs./MA.
Karena mengadopsi nilai dan sistem pesantren maka operasional kegiatan madrasah  menerapkan model boarding school (asrama) dengan mengadopsi konsep sistem ”pondok” atau pemondokan bagi para santri sebagaimana telah lama diterapkan dalam sistem pendidikan pesantren. Unsur esensial yang diadopsi dari sistem ini adalah pada aspek sistem full days school, dimana proses belajar mengajar bisa dilaksanakan tidak hanya pada aspek kurikulum formal saja tetapi juga pada aspek hidden curriculum, sistem nilai dan kultur pesantren .
Pesantrenisasi madrasah dan sekolah sebagai upaya penguatan kembali pendidikan agama islam didasarkan dari adanya sebuah kesadaran bahwa madrasah kita perlu dikembalikan kepada basis nilai, kultur, dan arah pendidikan yang menjadi pijakan awalnya.[16] Hal ini terjadi karena lembaga pendidikan Islam kita tersebut cenderung semakin dijauhkan dari basisnya. Madrasah adalah modernisasi pesantren yang mengadopsi sistem kelas sekolah modern, berstandarkan pendidikan Barat. Hanya saja di dalam madrasah, nilai, corak, silabus pendidikan, dan arah pengetahuan berbeda dari sekolah karena ia berpijak dari nilai-nilai Islam. Namun dalam konteks Indonesia, termasuk dalam konteks Kudus, madrasah amat dekat dengan pesantren, karena pesantrenlah yang menjadi lembaga pendidikan awal Islam di negeri ini, yang merupakan kesinambungan kultural dari tradisi pendidikan Nusantara era Hindu-Budha, yakni padepokan dan Mandala.
Memang jika tidak hati-hati, pergeseran dari sistem kepesantrenan menjadi madrasah bisa berdampak pada bergesernya nilai-nilai keislaman anak didik. Hal ini terjadi karena nilai kepesantrenan tidak selalu bisa diakomodir oleh sistem madrasah yang mengadopsi sistem sekolah. Pergeseran ini bisa kita lihat dari beberapa hal. (1) Pesantren yang menganut sistem everyday life kyai dengan kepemimpinannya  menjadi model bagi bagi para santeri dalam pendidikan maupun dalam kehidupan sehari-hari. (2) Kualitas guru madrasah yang tidak sebijak kiai pesantren. (3) orientasi pendidikan di madrasah cenderung pragmatis, sementara di pesantren para santri lebih tulus dalam belajar untuk mendalami dan menguasai ilmu keislaman.[17] 
Pada titik inilah madrasah sebenarnya diharapkan menutup “lubang hitam” pendidikan kita, dengan menggerakkan nuansa keislaman di sistem sekolah. Namun madrasahpun kurang bisa memaksimalkan potensi keislaman tersebut, karena pada level sistem, ia masih terkonstruk dalam paradigma sekolah yang memiliki kelemahan fundamental tersebut. Hal ini terjadi karena dalam madrasah ada dua kurikulum, yakni kurikulum pendidikan nasional dan kurikulum lokal madrasah. Dualisme kurikulum inilah yang membuat madrasah tidak bisa memaksimalkan potensi keislaman. Selain dualisme ini, sistem pendidikan, baik menyangkut metode pengajaran guru, standar penilaian, dan capaian akhir pendidikan, yang masih mengekor pada sistem sekolah. Dari sini jelas terlihat, bahwa madrasah an sich tidak bisa diharapkan menjadi penyempurna sistem pendidikan kita yang penuh kelemahan. Perlu ada terobosan radikal yang memijakkan konsep, sistem, dan praktik pendidikan pada ranah filosofis dari pendidikan itu sendiri, yang merupakan usaha manusia untuk memanusiakan dirinya.

D.           Penguatan Madrasah dan Sekolah Berbasis Pesantren
Pola madrasah berbasis pesantren berangkat dari kebutuhan untuk merumuskan suatu sistem pendidikan Islam yang baru. Kebaruan dari sistem ini terletak dalam basis filosofisnya, yang hendak menjadikan kepesantrenan sebagai basis pendidikan dari madrasah.[18] Disebut basis filosofis, karena madrasah berbasis pesantren berangkat dari kehendak untuk mengembalikan sistem pendidikan madrasah kepada dasar filosofis dari pendidikan Islam yang menurut penulis terdapat di pesantren. Secara jujur harus diakui bahwa saat ini telah terjadi defilosofisasi pendidikan Islam di madrasah, yang berujung pada tercerabutnya dari landasan filosofis pendidikan Islam itu sendiri. Proses defilosofi ini terjadi akibat proses instrumentalisasi, pragmatisasi, fungsionalisasi, dan mekanisasi pendidikan Islam madrasah, yang membuatnya tercerabut dari nilai-nilai dasar pendidikan Islam.
Hal tersebut tentu bertentangan dengan filsafat pendidikan Islam yang berangkat dari rasionalitas nilai,[19] bukan rasionalitas instrumental. Rasionalitas nilai dalam pendidikan Islam menyatakan bahwa hakikat pendidikan dalam Islam adalah pembentukan karakter manusia berdasarkan ontologi keislaman. Ontologi manusia ini berisi tentang konsep “manusia ideal” menurut Islam, yaitu sebagai hamba (‘abdullah) dan wakil Tuhan (khalifatullah). Sebagai hamba, manusia harus mengarahkan hidupnya untuk beribadah. Menjadi hamba Tuhan. Sementara sebagai khalifatullah, manusia adalah pengejawantah nilai-nilai ketuhanan sehingga dunia bisa ditata dengan nilai-nilai tersebut.
Dari ontologi keislaman manusia inilah, pendidikan Islam dibangun. Jadi pendidikan Islam adalah pendidikan yang dibangun berdasarkan rasionalitas nilai-nilai ontologi Islam atas hakikat manusia. Oleh karena itu, elemen keilmuan dalam pendidikan Islam, haruslah mampu memenuhi kebutuhan bagi pembentukan manusia Islami. Dalam kaitan ini, pemenuhan tersebut akhirnya memuara pada dua tugas manusia sebagai ‘abdullah dan khalifatullah.[20] Dari dua tugas kehambaan dan kekhalifahan ini, maka tidak ada lagi dikotomi pendidikan agama dan pendidikan umum. Sebab demi pemenuhan tugas kekhalifahan, muslim haruslah mengetahui seluk-beluk dunia, agar ia bisa menata dunia dengan baik. Muslim haruslah menguasai ilmu politik, antropologi, ilmu budaya, ilmu bahasa, ilmu sosial, filsafat, ilmu teknik, dan segenap tradisi pengetahuan tentang manusia dan masyarakat yang tidak berasal dari khasanah keislaman. Standar keislaman dalam tugas penataan dunia kemudian bisa berarti dua macam. Bisa bersifat formalis, dalam artian, pelajar Islam menggunakan konsep Islam (misalnya politik Islam) sebagai rumusan penataan dunia. Atau bersifat substantif. Yakni memasukkan nilai-nilai dasar keislaman dalam ruang lingkup yang tidak Islami.
Pada titik inilah, praktek filsafat pendidikan Islam hanya bisa diterapkan dalam bentuk madrasah berbasis pesantren. Tentu, pola idealnya sudah diterapkan secara nyata di pesantren. Dalam hal ini, pesantren sebagai sub-kultur yang secara ideal telah memuat tiga sistem nilai pesantren. Hanya saja karena secara legal, lembaga pendidikan Islam formal di Indonesia adalah madrasah, maka pembentukan sistem pendidikan Islam yang ideal, berarti pertemuan antara konsep madrasah dan konsep pesantren. Dalam kaitan ini, pesantren sebagai nilai dan sistem pedagogis penulis jadikan basis pedagogis dari sistem pendidikan madrasah. Oleh karenanya, perumusan sistem baru pendidikan ini tidak harus membuahkan lembaga pendidikan yang benar-benar baru, yang belum ada selama ini. Perumusannya terdapat pada penempatakn kepesantrenan sebagai basis pedagogis dari madrasah. Dari sini basis pedagogis itu meliputi beberapa hal. (1) basis nilai, (2)  basis pengajaran, (3) basis kultural.
Dengan cara ini, paradigma instrumental[21] yang menjadi landasan pembentukan madrasah, akhirnya berganti dengan rasionalitas nilai. Madrasah dijalankan untuk mengabdi kepada nilai-nilai mendasar Islam. Dengan cara ini pula, siswa tidak akan terjebak dalam sistem tertutup madrasah. Mereka mampu kembali kepada naturalitas dan kulturnya. Artinya, madrasah akan mengembalikan siswa kepada kewajaran natural sebagai manusia yang berhak berkembang, berinovasi dan merubah diri. Sifat natural dari manusia ini yang meniscayakan sistem pendidikan terbuka. Sebab naturalitas manusia selalu berkembang dan berubah, dan ia tentu membutuhkan sistem dinamis yang memenuhi kebutuhan bagi pengembangan diri tersebut. Dengan gagasan madrasah berbasis pesantren, siswa tidak akan terjebak menjadi objek pedagogis dari sistem birokratis, tetapi berkultural pesantren.
Dengan mengadopsi sistem pesantren ini, secara umum ada empat hal penting yang dapat dicapai atau diperoleh secara simultan oleh madrasah dalam kapasitas dan statusnya sebagai sekolah menengah umum berciri khas Islam. Capaian ini sekaligus merupakan keunggulan dan kelebihan madrasah bila dibandingkan dengan sekolah atau pendidikan Islam tradisional lainnya.  Bila hal ini dapat diwujudkan, maka akan tercipta produk (output – outcome) dari proses pendidikan di madrasah yang sesuai dengan ekspektasi para penggunanya. Empat hal tersebut meliputi: (1) penguatan atau pendalaman 'ulum al-dīn sebagai upaya untuk meningkatkan kualitas pengetahuan dan keberagamaan peserta didik. (2) Pendalaman materi science (mata pelajaran umum) sebagai upaya untuk mencapai keunggulan komparatif sejalan dengan arus besar kebijakan pendidikan nasional. (3) Pemberian latihan ketrampilan untuk memberi bekal life skill sebagai bekal bagi lulusan untuk terjun dalam kehidupan bermasyarakat dengan keunggulan kompetitif. (4) Optimalisasi kegiatan ekstra dalam rangka mewujudkan "pendidikan yang dijiwai dengan suasana keagamaan".
Model penguatan madrasah yang tidak hanya cocok untuk pengelolaan madrasah, tetapi lebih dari itu sistem dan/atau model ini dipandang akan mampu mendekatkan kembali sistem pendidikan madrasah dengan “induk” yang melahirkan dan membesarkan, yaitu pesantren. Dengan model ini diharapkan mampu memenuhi kekurangan yang selama ini menjadi keprihatian kita bersama, yaitu minimnya pemahaman agama Islam. Model penguatan pendidikan agama islam (PAI) dengan mengadopsi sistem pendidikan pesantren ini secara konseptual merupakan manifestasi dari divinity based education.  Secara teknis model ini mengadopsi konsep boarding school  dan/atau  full days school. Dengan konsep ini diharapkan tidak akan ada lagi kendala keterbasan waktu untuk proses pendidikan dan pembelajaran yang berorientasi pada kualitas. Karena dengan konsep ini pendidikan dan pembelajaran di madrasah tidak hanya dalam formal kurikulum tetapi juga hidden curriculum. Berangkat dari realitas objektif dan tipologi madrasah secara umum, penguatan pendidikan agama islam pada madrasah dapat diimplementasikan sesuai konteks dan kapasitas masing-masing madrasah, yaitu; (1) Model Madrasah Pesantren (MP), (2) Model Madrasah Lingkungan Pesantren (MLP), dan (3) Madrasah Sistem Nilai Pesantren (MSNP). 

E.            Pola Pendidikan Agama Islam pada Sekolah Umum
Secara spesifik, realitas kurikulum PAI pada sekolah umum masih terpilah-pilah menjadi aspek Al-Qur’an/Hadits, aqidah akhlak, fiqih dan tarikh Islam, mengkonsentrasikan pada masing-masing mapel saja. Orientasi mempelajari al-Qur’an masih cenderung pada kemampuan membaca teks, belum mengarah pada pemahaman arti dan penggalian makna secara tekstual dan kontekstual. Sehingga, masing-masing aspek aqidah akhlak, ibadah dan syari’ah yang diajarkan hanya sebagai tata aturan keagamaan dan kurang ditekankan sebagai proses pembentukan kepribadian sebagai konsekwensi dari pengajaran agama islam tersebut. Kurang terciptanya suasana religius di sekolah, madrasah maupun PT yang seharusnya tercipta sebagai manifestasi dari potret lingkup terkecil dari efek pembelajaran pendidikan agama Islam.
Kurangnya ruang dan waktu bagi peserta didik untuk mengeksplorasi potensi masing-masing individu sebagai wahana ekspresi PAI, yang hanya dalam durasi dua jam pelajaran di kelas memang tidaklah akan cukup untuk menyampaikan informasi keagamaan yang begitu komplek. Apalagi jika tidak  pandai mensiasati proses pembelajarannya, tidak tertutup kemungkinan informasi yang diterima pelajar hanya akan menyentuh aspek kognitif, tidak sampe pada domain afektif dan psikomotor. Upaya untuk mensiasati keterbatasan ruang dan waktu, pembelajaran PAI dapat dilakukan secara integral antara intra dan ekstra kurikuler, diantaranya adalah :
1)   Menyelenggarakan pembinaan Rohani Islam
Kegiatan pembinaan rohani Islam, dapat dijadikan sebagai kegiatan ekstra kurikuler yang wajib diikuti oleh seluruh pelajar yang beragama Islam. Untuk mewujudkan kegiatan ini perlu dibuat program kerja yang matang sehingga dalam pelaksanaannya tidak berbenturan dengan kegiatan ekstrakurikuler lainnya, didanai dengan dana yang cukup, materi yang disampaikan dapat menunjang materi intrakurikuler dengan menggunakan metode yang menyenangkan tapi tetap edukatif serta memanfaatkan tenaga pengajar yang ada di lingkungan sekolah yang memiliki komitmen tinggi terhadap Islam.
2)   Mengkondisikan Sekolah Dengan Kegiatan Keagamaan
Suasana keagamaan atau dengan istilah ekstrim Islamisasi kampus, dimaksudkan agar seluruh warga sekolah terutama yang beragama Islam bisa menjalankan sebagian syariat Islam di lingkungan sekolah sehingga situasi kondusif bisa tercipta di lingkungan sekolah tersebut. Ini seseungguhnya adalah dalam rangka memenuhi ruang dan waktu pelajar agar tidak mencari atau memanfaatkan jarak waktu dan jarak ruang untuk hal-hal yang mengarah kepada tindakan anarkhis dan tawuran.
3)  Menggunakan Metode Integrasi dalam KBM mapel.
Secara sederhana, integrasi lebih mudah dijalankan dengan metode Insersi, yaitu cara menyajikan bahan pelajaran dengan cara; intisari ajaran Islam atau jiwa agama/emosi religius diselipkan/disisipkan di dalam mata pelajaran umum.[22] Untuk menggunakan metode ini guru agama harus bekerja sama dengan guru mata pelajaran lain (mata pelajaran umum) agar pesan-pesan keagamaan bisa disampaikan melalui pelajaran umum dengan cara yang sangat halus, sehingga hampir tidak terasa bahwa sesungguhnya saat itu para pelajar sedang mendapatkan suntikan keagamaan oleh guru mata pelajaran yang bukan pelajaran agama.

F.   Penutup
Semoga bermanfaat.



[1] Karnadi Hasan “Konsep Pendidikan Jawa”, dalam Jurnal Dinamika Islam dan Budaya Jawa, No 3 tahun 2000, Pusat Pengkajian Islam Strategis, IAIN Walisongo Semarang, 2000, Hal. 29.
[2] Paulo Freire dalam Pendidikan: Kegelisahan Sepanjang Zaman (Pilihan Artikel Basis), Sindhunata (editor), Kanisius, 2001 sebagaimana di kutip dalam Resensi Amanat, Edisi 84/Februari 2001 Hal. 16.
[3] Baca Pengantar Malik Fadjar dalam Imam Tholkah, Membuka Jendela Pendidikan, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2004, Hal. v
[4] Achmadi, Islam paradigma Ilmu Pendidikan, Yogyakarta : Aditya Media, 1992, Hal. 16.
[5] Muslim Kadir, Dasar-Dasar Praktikum Keberagamaan dalam Islam, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 1992, 296
[6] Perintah ini harus dimaknai seluas-luanya dan sedalam-dalamnya yaitu melakukan observasi, eskplorasi ilmu, eksperimentasi, kajian, studi, analisis, penelitian, riset, penulisan ilmu secara komprehensif.
[7] Simak Hadist yang dikutip al Ghazali, Ihya Ulumuddin, kairo, 1969, Hal. 5 dan 89.
[8] Humanisasi dan dehumanisasi adalah dua hal yang bersifat antagonistik. Dehumanisasi dalam pendidikan dimaksudkan sebagai proses pendidikan yang terbatas pada pemindahan ilmu pengetahuan (transfer of knowledge). Sedangkan humanisasi merupakan proses pemberdayaan masyarakat melalui ilmu pengetahuan. Lihat Paulo Freire, Politik Pendidikan: Kebudayaan, Kekuasaan dan Pembebasan, terj. Agung Prihantoro dan Fuad Arif Fudiyartanto, Yogykarta : Pustaka Pelajar & READ, 2002, hal. 190-1.
[9] Munir Mulkhan, Nalar Spiritual Pendidikan. Yogyakarta: Tiara Wacana, 2002., hal.127
[10] Ibid, hal. 32.
[11] Ibid, 119-120.
[12] (Zamakhsyari Dhofier, 1994:21).
[13] Abd. Rachman Assegaf, Politik Pendidikan Nasional; Pergeseran Kebijakan Pendidikan Islam dari Proklamasi ke Reformasi, Yogyakarta, Kurnia Kalam, 2005
[14] Kunandar, Guru Profesional Implementasi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) dan Sukses dalam Sertifikasi Guru, ( Jakarta, RajaGrafindo Persada, 2007), 211.
[15] Nasution, Pengembangan Kurikulum (Bandung: PT Citra Aditya Bakti,1993), 11
[16] Lihat Marzuki Wahid, Pesa ntren Ma sa Depan; Wa cana  Pemberda yaa n da n Tra nsforma si Pesa ntren (Bandung: Pustaka Hidayah, 1999), 223.
[17] Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesa ntren : Studi Tentang Pa ndangan Hidup Kyai (Jakarta: LP3ES, 1994), 16.
[18] H.A. Malik Fadjar dalam Kontekstualisasi Ajaran Islam 70 Tahun Munawir Sjadzal, (Jakarta: kerja sama IPHI dan Paramadina, 1995), 513-514.
[19]Dra. Zuhairi, dkk., Filsafat Pendidikan Islam (Jakarta: Bumi Aksara, 1995), 107-120.
[20] Syed  Muhammad  Al-Naquib  Al-Attas,  The  Concept  of  Education  in  Islam:  A Framework  for  an  Islamic  Philosophy  of  Education  (Kual Lumpur:  Muslim  Youth Movement of Malaysia, 1980), 90. Lihat pula Syed Muhammad Al-Naquib Al-Attas, Islam and Secularism  (Kuala Lumpur: Muslim Youth Movement of Malaysia, 1978), 18.
[21] Ronald Alan Lukens-Bull, Jihad ala Pesantren di Mata Antropolog Amerika (Yogyakarta: Gama Media, 2004), 149.
[22] Interkoneksi dapat digunakan sebagai metode integrasi dan islamisasi. Lihat: Amin Abdullah dan Muslim Kadir.

No comments:

Post a Comment