FORMULA PENDIDIKAN AGAMA
ISLAM YANG HUMANIS DAN RELIGIUS
Oleh: HM. Ihsan
A.
Pendahuluan
Pendidikan, memiliki
peran strategis sebagai sarana human resources dan human investment. Selain
bertujuan menumbuhkembangkan kehidupan yang lebih baik, pendidikan juga telah
nyata-nyata ikut mewarnai dan menjadi landasan moral dan etik dalam proses
pemberdayaan jati diri bangsa.[1] Sedemikian pentingnya pendidikan,
terutama pendidikan agama Islam, maka wajar jika hakekat pendidikan merupakan
proses humanisasi, yang berimplikasi pada proses
kependidikan dengan orientasi pengembangan aspek-aspek kemanusiaan manusia,
yakni aspek fisik-biologis dan ruhaniah-psikologis.[2] Aspek
rohaniah-psikologis inilah yang dicoba didewasakan dan di-insan kamil-kan
melalui pendidikan sebagai elemen yang berpretensi positif dalam pembangunan
kehidupan yang berkeadaban.[3] Dari pemikiran ini, maka pendidikan
merupakan tindakan sadar dengan tujuan memelihara dan mengembangkan fitrah
serta potensi (sumber daya) insani menuju terbentuknya manusia seutuhnya (insan
kamil).[4]
Sementara itu, beberapa
ahli mensinyalir terjadinya
“dehumanisasi” pendidikan, dengan indikasi terkikisnya nilai-nilai kemanusiaan
yang dikandungnya. Bahkan pendidikan mengalami “kegagalan” apabila kita lihat
dari beberapa kasus yang muncul ke permukaan. Kasus kekerasan yang merebak
dalam kehidupan kebangsaan dan kemasyarakatan kita, mengindikasikan bahwa
pendidikan belum mempunyai peran signifikan dalam proses membangun kepribadian
bangsa kita yang punya jiwa sosial dan kemanusiaan. Radikalisme agama adalah
salah satu problem nasional yang perlu dipecahkan. Salah satu upaya
strategisnya adalah dengan membangun paradigma pendidikan yang berwawasan
kemanusiaan (humanis). Pendidikan sesungguhnya bukan semata-mata momen
“ritualisasi”, tetapi implemntasi dua variabel pokok yaitu teoritis dan praktis[5] untuk menghasilkan
insan-insan pendidikan yang memiliki karakter manusiawi dan sarat keilmuan yang
meniscayakan jaminan atas perbaikan kondisi sosial yang ada.
Secara normatif, Islam
telah memberikan landasan kuat bagi pelaksanaan pendidikan. Pertama, Islam
menekankan bahwa pendidikan merupakan kewajiban agama dimana proses
pembelajaran dan transmisi Ilmu sangat bermakna bagi kehidupan manusia. Inilah latar belakang turunnya wahyu pertama dengan perintah membaca, menulis, dan mengajar.[6] Kedua, seluruh rangkaian
pelaksanaan pendidikan adalah ibadah kepada Allah SWT. Sebagai sebuah ibadah,
maka pendidikan merupakan kewajiban individual sekaligus kolektif , Ketiga, Islam
memberikan derajat tinggi bagi kaum terdidik, sarjana maupun ilmuwan. Keempat, Islam
memberikan landasan bahwa pendidikan merupakan aktivitas sepanjang hayat. (long
life education). Sebagaimana Hadist Nabi tentang menuntut ilmu dari sejak
buaian ibu sampai liang kubur).[7] Kelima, kontruksi pendidikan
menurut Islam bersifat dialogis, inovatif dan terbuka dalam menerima ilmu
pengetahuan baik dari Timur maupun Barat.
Kemajuan
teknologi dan globalisasi menghilangkan sekat dunia. Peristiwa yang terjadi di
belahan dunia sana, pada saat bersamaan bisa disaksikan di dalam rumah kita
sendiri melalui layar televisi, internet dan fasilitas teknologi informasi
lainnya yang secara langsung maupun tidak akan dapat mempengaruhi perkembangan
jiwa anak-anak pada usia remaja yang memiliki kecenderungan untuk mencoba-coba
sesuatu, tidak sabar, mudah terbujuk dan selalu ingin menampakkan egonya. Fakta
tersebut memerlukan perhatian dari pendidikan, utamanya pendidikan agama Islam.
Pendidikan
Agama Islam (PAI) pada sekolah, madrasah dan Perguruan Tinggi selama ini lebih
berorientasi pada norma agama daripada problem subyek didik. Ajaran agama Islam
dipahami kemudian disistematisasi menjadi lima aspek yaitu Al-Qur’an-Hadis,
Aqidah/Keimanan, Akhlak, Fikih/Ibadah dan SKI. Sedangkan para ahli merancang
pendidikan berangkat dari kondisi obyektif subyek didik secara mendalam,
kemudian melakukan analisis hal-hal apa saja yang diperlukan oleh subyek didik
bahkan melakukan diagnosis sampai ditemukan persoalan-persoalan yang ada pada
subyek didik. Dari temuan-temuan itu kemudian mereka rancang sistem, pola, atau
model pendidikan. John P. Miller, misalnya, melakukan penelitian terhadap
subyek didik lebih dari tujuh tahun dan menemukan bahwa keterasingan siswa di
sekolah menjadi pemicu munculnya berbagai penyimpangan, seperti tawuran,
pergaulan bebas, putus sekolah, kecanduan narkoba bahkan sampai bunuh diri.
Kemudian dia rancang model pendidikan yang terkenal dengan nama Humanizing
the Classroom, Models of Teaching in Affective Education.
Dua konsep tersebut perlu
dikoneksikan agar terbentuk sinergi antara
teks ajaran terutama al Qurán sebagai landasan normatif umat Islam dengan
praktek pendidikan Islam di era global seperti sekarang ini. Artinya,
pendidikan Islam (PAI) sebagai misi pembentukan insan
kamil di era modern dapat dianggap gagal dalam membumikan universalitas ajaran
Islam dan terjebak dalam dehumanisasi,
karena kurang memperhatikan aspek peserta didik. Dalam prakteknya, Institusi pendidikan lebih merupakan proses transfer
ilmu dan keahlian daripada usaha pembentukan kesadaran dan kepribadian anak
didik sebagai pembimbing moralnya melalui ilmu pengetahuan yang dimiliki.
Padahal, kecenderungan pendidikan yang sekedar transfer ilmu dan keahlian dan
mengabaikan pembangunan moralitas merupakan ciri utama dehumanisasi pendidikan.[8]
B.
Konsep Pendidikan Humanis dan Religius
Merujuk pada rumusan dasar negara Republik Indonesia, praktik
pendidikan yang dicita-citakan oleh para pendiri bangsa ini adalah pendidikan
yang bercorak humanis religius. Konsep ini ditarik dan diabstraksikan dari sila
“Ketuhanan yang Maha Esa”, serta “Kemanusiaan yang Adil dan Beradab”. Untuk
menjaga dan menumbuhkan nilai-nilai humanis religius, bangsa Indonesia memiliki
cara yang unik. Bukan sekulerisme radikal yang menjadi pilihan, sebab ia tidak
mempedulikan agama di ranah publik. Juga bukan kebijakan teokratis yang serba
agama. Politik pendidikan agama konvensional yang menjadi pilihan. Melalui
kebijakan ini, negara mengakui pluralitas agama sekaligus bertanggung jawab
mendidik warga agar menjadi pemeluk agama yang taat. Orang-orang yang taat
beragama diharapkan dapat memantulkan cahaya religiusitasnya itu ke dalam sikap
dan perilaku yang terpuji.
Gagasan pendidikan yang humanis dan religius dapat dipertimbangkan
secara normatif konseptual, termasuk kebijakan politik pendidikan agamanya.
Namun yang menjadi masalah adalah mengapa dalam perjalanan 68 tahun, gagasan
dan kebijakan tersebut diimplementasikan belum terlihat, bahkan tampak semakin
kabur dan menjauh. Bahkan ada kecenderungan orang-orang berpendidikan tinggi,
yang seharusnya mampu menjadi teladan dalam menampilkan kepribadian luhur,
menjadi sebaliknya yaitu gaya hidupnya hedonistik, serba permisif, menjarah
kekayaan bangsa tanpa rasa bersalah, pamer kemilau kuasa dan harta semakin
kasat mata sementara sebagian besar rakyat hidup dalam belitan kemiskinan dan
penderitaan yang akut. Alih-alih menjadi warga negara yang berkarakter humanis
religius, output pendidikan kita malah melahirkan dan menumbuhkan orang-orang
yang berkarakter memiliki (having character). Merebaknya karakter ini
terlihat begitu mencolok dalam bentuk lahirnya orang-orang yang bermental
serakah dan dan mabuk kekuasan.
Ada
dua konsep yang perlu dirujuk, yaitu pendidikan humanis di satu sisi dan
pendidikan religius di sisi yang lain. Pendidikan humanis merupakan tanggapan
dan kritik terhadap praktik pendidikan tradisional.[9]
Ciri pendidikan tradisional yang ditolak kalangan humanis adalah: guru
otoriter, pengajaran menekankan buku teks, siswa pasif hanya mengingat
informasi dari guru, ruang belajar terbatas di kelas yang terasing dari
kehidupan nyata dan menggunakan hukuman fisik dan menakut-nakuti siswa untuk
membangun kedisiplinan. Konsep humanisme adalah
memanusiakan manusia sesuai dengan perannya sebagai khalifah di bumi ini.
Al-Qur`an menggunakan
empat term untuk menyebutkan manusia, yaitu basyar, al-nas, bani adam
dan al-insan. Term basyar secara umum digunakan untuk menjelaskan
bahwa manusia itu sebagai makhluk biologis. Sedangkan term al-nas (disebut
240 kali) digunakan untuk menjelaskan bahwa manusia itu sebagai makhluk sosial.
Kemudian, term bani adam diulang di dalam al-Qur`an sebanyak 7 kali[10] menunjukkan bahwa manusia itu sebagai
makhluk rasional dan kata keempat menggunakan term al-insan diulang di
dalam al-Qur`an sebanyak 65 kali dan 24 derivasinya yaitu insa 18 kali
dan unas 6 kali[11] digunakan untuk menjelaskan bahwa
manusia itu sebagai makhluk spiritual. Dengan demikian, maka manusia memiliki
potensi unik pada ranah biologis, sosial, intelektual dan spritual, yang sangat
potensial untuk dikembangkan oleh dan melalui proses pendidikan.
Praktik pendidikan humanis bertujuan memanusiakan manusia sehingga
seluruh potensinya dapat tumbuh secara penuh dan menjadi pribadi utuh yang
bersedia memperbaiki kehidupan. Prinsip-prinsip pendidikan humanis meliputi:
guru sebagai teman belajar, pengajaran berpusat pada anak, fokus pada
keterlibatan dan akivitas siswa, siswa belajar dari pengalaman kehidupan dan
membangun kedisiplinan secara kooperatif dan dialogis. Seorang pendidik humanis
selalu membuka ruang kebebasan pada setiap individu untuk membangun diri sesuai
cita-cita yang dicanangkan. Tujuan pendidikan religius untuk meninggikan moral,
melatih dan mempertinggi semangat, menghargai nilai-nilai spiritual dan
kemanusiaan, mengajarkan sikap dan tingkah laku yang jujur dan bermoral dan
menyiapkan siswa untuk hidup sederhana dan bersih hati.[12]
Integrasi dan sinergi keduanya dapat melahirkan konsep pendidikan yang
ideal sesuai falsafah bangsa Indonesia. Pendidikan humanis religius adalah
pendidikan yang dapat membangun moral manusia yang baik (akhlakul karimah) dan
menumbuhkan kapasitas (kemampuan) diri secara penuh sehingga mampu
merealisasikan tujuan kehidupan secara produktif.[13]
Hakikat
pendidikan humanis menurut Abdul Munir Mulkhan mencakup tiga entitas, yaitu; 1)
Pendidikan sebagai proses peneguhan keunikan manusia. Maksudnya, kesadaran
keunikan diri sebagai pengalaman otentik perlu ditempatkan sebagai akar
pendidikan, pengembangan politik kebangsaan, dan kesalehan religius. Keunikan adalah
basis pribadi kreatif dan kecerdasan setiap orang dengan kemampuan dan sikap
hidup berbeda. 2) Pendidikan sebagai proses akumulasi pengalaman manusia.
Maksudnya, proses pendidikan perlu ditempatkan sebagai media pengayaan
(akumulasi) pengalaman. 3) Pendidikan sebagai proses penyadaran. Hakikat
pendidikan menurut Mulkhan tidak lain sebagai proses penyadaran diri dari
realitas universum. Penyadaran bukan awal sebuah dinamika kehidupan melainkan
akar dari seluruh dinamika kehidupan yang terus aktual dan terpelihara.
Sementara itu, aplikasi konsep pendidikan humanis Abdul Munir Mulkhan dalam
pendidikan agama Islam menyentuh wilayah tujuan, kurikulum, evaluasi, metode,
pendidik dan peserta didik.
Sesungguhnya, praktik pendidikan di Indonesia bercorak religius sebab
pendidikan agama diajarkan sejak usia dini sampai perguruan tinggi. Terlebih di
lembaga pendidikan yang bernapas keagamaan seperti madrasah maupun
sekolah-sekolah keagamaan. Hanya penyajiannya masih bersifat parsial dan
terlalu berat pada dimensi ritual. Dalam perspektif humanis religius,
pendidikan agama disuguhkan untuk: memupuk sikap positif terhadap kehidupan,
memahami kenyataan sosial dan kontradiksi yang ada dalam masyarakat dan
merangsang siswa untuk mengamalkan iman dalam seluruh dimensi kehidupan.
Sebagaimana dikemukakan di atas, tidak begitu mengejutkan bahwa praktik
pendidikan di sekolah kita cenderung tidak humanis.
C.
Pendidikan Agama Islam Berbasis Pesantren
Secara umum esensi perubahan yang dialami oleh
madrasah adalah untuk meningkatkan
kualitas dan mensejajarkan madrasah dengan sistem persekolah (sekolah umum).
Meskipun pada kenyataannya sampai saat ini masih terjadi perbedaan persepsi
dalam implementasi, terutama dalam memaknai, merumuskan, dan mewujudkan ciri
khas Islam. Apa dan bagaimana
implementasi "pendidikan yang dijiwai ajaran agama Islam"? Satu hal yang mereka sepakati adalah rumusan dan
implementasi "dijiwai ajaran agama Islam" ini harus diberikan dalam
bentuk formal yang terumuskan dalam kurikulum yang tersimbolkan dalam mata
pelajaran. Rumusan implementasi[14]
"pendidikan yang dijiwai suasana keagamaan", sesuai kapasitas dan
konteks masing-masing relatif sudah terumuskan dan terlaksana. Karena pemahaman
untuk rumusan ini lebih mudah untuk dipahami dan diwujudkan dalam praktik. Secara umum, madrasah
mewujudkan suasana keagamaan
ini dilaksanakan dalam bentuk penciptaan lingkungan madrasah dengan berbagai
kegiatan yang bersumber dari nilai/ajaran islam yang berujung pada terciptanya budaya yang Islami,
mulai dari cara berpakaian, bertutur kata, pergaulan sampai pada berbagai
bentuk latihan/ praktik ritual keagamaan. Secara teknis pelaksanaan kegiatan
tersebut ada yang terstruktur dalam format kurikuler, hiden curriculum
maupun ekstra kurikuler.[15]
Berangkat
dari beberapa fakta bahwa pesantren
adalah model pendidikan agama islam yang telah terbukti berhasil mencetak
generasi tafaqquh fi al diin dan berakhlak karimah. Tentunya, tanpa
melupakan beberapa kelebihan dan kelemahannya.
Melihat
dan berangkat dari keunggulan pesantren, perlu dilakukan sintesa yang mengarah pada sistem
pendidikan agama Islam berbasis pesantren. Makna dan pengertian “basis” harus disikapi
secara luas dan komprehensif. Artinya, kata basis tidak hanya merujuk pada
pengertian fisik, akan tetapi yang jauh lebih urgen adalah basis nilai dan
kultur pesantren. Secara institusional,
madrasah memang memiliki kelebihan dibanding pesantren dalam hal tata administrasi dan birokrasi pendidikan. Hal ini
merupakan pengelolaan modern atas sistem pendidikan, yang membuat sistem madrasah
terukur, jika dibanding dengan pola pesantren yang lebih bersifat kultural. Disamping itu, pesantren di sisi lain memiliki kelebihan yang bisa
menyempurkan sistem pendidikan Islam di madrasah. Kelebihan ini terletak pada
sistem pendidikannya yang mengakar pada tradisi keilmuan Islam dan tradisi dari
peradaban Islam itu sendiri. Dengan demikian, upaya
penyempurnaan pendidikan Islam kita haruslah mengarah pada pendasaran kembali
sistem pendidikan Islam kepada tradisi Islam, meskipun tetap dengan tata kelola
institusional ala madrasah. Di dalam proses penyempurnaan ini, tentu ada
hal-hal dari madrasah yang dikurangi. Upaya ini merupakan usaha untuk
mendedominasikan sistem sekolah atas pendidikan Islam. Salah satunya melalui
penambahan mata pelajaran keilmuan Islam, sehingga pelajaran Islam tidak lagi
minimalis, melainkan maksimalis.
Memang
di satu titik telah terjadi persilangan antara madrasah dan pesantren. Hal ini terjadi pada pesantren yang
mendirikan madrasah di dalamnya. Serta madrasah yang memiliki sistem nilai dan
kurikulum pesantren. Pada yang pertama, pesantren telah menyempurnakan diri
sehingga mau memasukkan pola sistem sekolah ke dalam sistem pendidikan
tradisionalnya. Hal ini tentu menggugurkan tesis keterbelakangan pesantren. Hal yang sama terjadi pada madrasah yang telah mengadopsi
sistem nilai dan kurikulum pesantren. Dalam kaitan ini, madrasah telah
menyempurnakan diri melalui pesantrenisasi sistem pendidikannya.
Seperti telah dijelaskan di atas, konsep pendidikan agama islam berbasis pesantren
adalah adopsi nilai dan sistem pesantren dalam pengelolaan madrasah sebagai
”sekolah umum” dengan Islam sebagai ”ciri khasnya”. Tujuan dari konsep ini
adalah dalam rangka penguatan atas berbagai kekuarangan yang terjadi pada
madrasah, terurtama bidang PAI. Merujuk pada SI dan SKL, perbedaan antara
sekolah dan madrasah adalah terletak pada tujuan dan cakupan materi PAI. Tujuan
mata pelajaran PAI di SMP/SMA adalah: (1) memberikan wawasan terhadap
keberagaman agama di Indonesia, (2) meningkatkan keimanan dan ketaqwaan siswa. Karena rumusan tujuannya
yang lebih simpel (global), maka PAI untuk SMA diberikan secara global dalam
satu mata pelajaran. Berbeda dengan SMP/SMA, karena Islam menjadi
ciri khasnya maka komposisi PAI untuk MTs./MA menjadi lebih banyak (mata pelajaran dan alokasi waktu) dan
pembahasannya lebih mendalam dalam rangka mencapai tujuan spesifiknya. Sebagai
sub-sistem pendidikan nasional, ada tiga tujuan yang harus di capai oleh Mts./MA, yaitu: (a) tujuan pendidikan nasional, (b) tujuan pendidikan
menengah, dan (c) tujuan spesifik pendidikan MTs./MA.
Karena mengadopsi nilai dan sistem pesantren maka operasional
kegiatan madrasah menerapkan model boarding
school (asrama) dengan mengadopsi konsep sistem ”pondok” atau pemondokan
bagi para santri sebagaimana telah lama diterapkan dalam sistem pendidikan
pesantren. Unsur esensial yang diadopsi dari sistem ini adalah pada aspek
sistem full days school, dimana proses belajar mengajar bisa
dilaksanakan tidak hanya pada aspek kurikulum formal saja tetapi juga pada
aspek hidden curriculum,
sistem nilai dan kultur
pesantren .
Pesantrenisasi
madrasah dan sekolah sebagai upaya penguatan kembali pendidikan agama islam
didasarkan dari adanya sebuah kesadaran bahwa madrasah kita perlu dikembalikan
kepada basis nilai, kultur, dan arah pendidikan yang menjadi pijakan awalnya.[16]
Hal ini terjadi karena lembaga pendidikan Islam kita tersebut cenderung semakin
dijauhkan dari basisnya. Madrasah adalah modernisasi pesantren yang mengadopsi
sistem kelas sekolah modern, berstandarkan pendidikan Barat. Hanya saja di
dalam madrasah, nilai, corak, silabus pendidikan, dan arah pengetahuan berbeda
dari sekolah karena ia berpijak dari nilai-nilai Islam. Namun dalam konteks
Indonesia, termasuk dalam konteks Kudus, madrasah amat dekat dengan pesantren,
karena pesantrenlah yang menjadi lembaga pendidikan awal Islam di negeri ini,
yang merupakan kesinambungan kultural dari tradisi pendidikan Nusantara era
Hindu-Budha, yakni padepokan dan Mandala.
Memang jika tidak hati-hati, pergeseran dari sistem kepesantrenan menjadi madrasah bisa berdampak pada bergesernya
nilai-nilai keislaman anak didik. Hal ini terjadi karena nilai kepesantrenan
tidak selalu bisa diakomodir oleh sistem madrasah yang mengadopsi sistem
sekolah. Pergeseran ini bisa kita lihat dari beberapa hal. (1) Pesantren yang menganut sistem everyday
life kyai dengan kepemimpinannya
menjadi model bagi bagi para santeri dalam pendidikan maupun dalam
kehidupan sehari-hari. (2) Kualitas guru madrasah yang tidak sebijak kiai pesantren. (3)
orientasi pendidikan di madrasah cenderung pragmatis, sementara di pesantren
para santri lebih tulus dalam belajar untuk mendalami dan menguasai ilmu
keislaman.[17]
Pada titik inilah madrasah sebenarnya
diharapkan menutup “lubang hitam” pendidikan kita, dengan menggerakkan nuansa
keislaman di sistem sekolah. Namun madrasahpun kurang bisa memaksimalkan
potensi keislaman tersebut, karena pada level sistem, ia masih terkonstruk
dalam paradigma sekolah yang memiliki kelemahan fundamental tersebut. Hal ini
terjadi karena dalam madrasah ada dua kurikulum, yakni kurikulum pendidikan
nasional dan kurikulum lokal madrasah. Dualisme kurikulum inilah yang membuat
madrasah tidak bisa memaksimalkan potensi keislaman. Selain dualisme ini,
sistem pendidikan, baik menyangkut metode pengajaran guru, standar penilaian,
dan capaian akhir pendidikan, yang masih mengekor pada sistem sekolah. Dari
sini jelas terlihat, bahwa madrasah an sich tidak bisa diharapkan
menjadi penyempurna sistem pendidikan kita yang penuh kelemahan. Perlu ada
terobosan radikal yang memijakkan konsep, sistem, dan praktik pendidikan pada
ranah filosofis dari pendidikan itu sendiri, yang merupakan usaha manusia untuk
memanusiakan dirinya.
D.
Penguatan Madrasah dan Sekolah Berbasis Pesantren
Pola madrasah
berbasis pesantren
berangkat dari kebutuhan untuk merumuskan suatu sistem pendidikan Islam yang
baru. Kebaruan dari sistem ini terletak dalam basis filosofisnya, yang hendak
menjadikan kepesantrenan sebagai
basis pendidikan dari madrasah.[18] Disebut basis filosofis,
karena madrasah berbasis pesantren berangkat dari kehendak untuk mengembalikan
sistem pendidikan madrasah kepada dasar filosofis dari pendidikan Islam yang
menurut penulis terdapat di pesantren. Secara jujur harus diakui bahwa saat ini
telah terjadi defilosofisasi pendidikan Islam di madrasah, yang berujung pada
tercerabutnya dari landasan filosofis pendidikan Islam itu sendiri. Proses
defilosofi ini terjadi akibat proses instrumentalisasi, pragmatisasi,
fungsionalisasi, dan mekanisasi pendidikan Islam madrasah, yang membuatnya
tercerabut dari nilai-nilai dasar pendidikan Islam.
Hal tersebut tentu bertentangan dengan
filsafat pendidikan Islam yang berangkat dari rasionalitas
nilai,[19] bukan rasionalitas instrumental. Rasionalitas nilai
dalam pendidikan Islam
menyatakan bahwa hakikat pendidikan dalam Islam adalah pembentukan karakter
manusia berdasarkan ontologi keislaman. Ontologi manusia ini berisi tentang
konsep “manusia ideal” menurut Islam, yaitu sebagai hamba (‘abdullah) dan wakil
Tuhan (khalifatullah). Sebagai hamba, manusia harus mengarahkan hidupnya untuk
beribadah. Menjadi hamba Tuhan. Sementara sebagai khalifatullah, manusia adalah
pengejawantah nilai-nilai ketuhanan sehingga dunia bisa ditata dengan
nilai-nilai tersebut.
Dari ontologi keislaman
manusia inilah, pendidikan Islam dibangun. Jadi pendidikan Islam adalah pendidikan yang dibangun berdasarkan rasionalitas nilai-nilai ontologi
Islam atas hakikat manusia. Oleh karena itu, elemen keilmuan dalam pendidikan
Islam, haruslah mampu memenuhi kebutuhan bagi pembentukan manusia Islami. Dalam
kaitan ini, pemenuhan tersebut akhirnya memuara pada dua tugas manusia sebagai ‘abdullah
dan khalifatullah.[20] Dari dua tugas kehambaan
dan kekhalifahan ini, maka tidak ada lagi dikotomi pendidikan agama dan pendidikan umum.
Sebab demi pemenuhan tugas kekhalifahan, muslim haruslah mengetahui seluk-beluk
dunia, agar ia bisa menata dunia dengan baik. Muslim haruslah menguasai ilmu
politik, antropologi, ilmu budaya, ilmu bahasa, ilmu sosial, filsafat, ilmu
teknik, dan segenap tradisi pengetahuan tentang manusia dan masyarakat yang
tidak berasal dari khasanah keislaman. Standar keislaman dalam tugas penataan
dunia kemudian bisa berarti dua macam. Bisa bersifat formalis, dalam artian,
pelajar Islam menggunakan konsep Islam (misalnya politik Islam) sebagai rumusan
penataan dunia. Atau bersifat substantif. Yakni memasukkan nilai-nilai dasar
keislaman dalam ruang lingkup yang tidak Islami.
Pada titik inilah, praktek
filsafat pendidikan Islam hanya bisa diterapkan dalam bentuk madrasah berbasis pesantren. Tentu, pola
idealnya sudah diterapkan secara nyata di pesantren. Dalam hal ini, pesantren
sebagai sub-kultur yang secara ideal
telah memuat tiga sistem nilai pesantren. Hanya saja karena secara legal,
lembaga pendidikan Islam formal di Indonesia adalah madrasah, maka pembentukan
sistem pendidikan Islam yang ideal, berarti pertemuan antara konsep madrasah
dan konsep pesantren. Dalam kaitan ini, pesantren sebagai nilai dan sistem
pedagogis penulis jadikan basis pedagogis dari sistem pendidikan madrasah. Oleh
karenanya, perumusan sistem baru pendidikan ini tidak harus membuahkan lembaga
pendidikan yang benar-benar baru, yang belum ada selama ini. Perumusannya
terdapat pada penempatakn kepesantrenan sebagai basis pedagogis dari madrasah.
Dari sini basis pedagogis itu meliputi beberapa hal. (1) basis nilai, (2) basis pengajaran, (3) basis kultural.
Dengan cara ini, paradigma
instrumental[21]
yang menjadi landasan pembentukan madrasah, akhirnya berganti dengan rasionalitas nilai. Madrasah dijalankan untuk mengabdi kepada
nilai-nilai mendasar Islam. Dengan cara ini pula, siswa tidak akan terjebak
dalam sistem tertutup madrasah. Mereka mampu kembali kepada naturalitas dan kulturnya. Artinya, madrasah akan
mengembalikan siswa kepada kewajaran natural sebagai manusia yang berhak
berkembang, berinovasi dan merubah diri. Sifat natural dari manusia ini yang
meniscayakan sistem pendidikan terbuka. Sebab naturalitas manusia selalu
berkembang dan berubah, dan ia tentu membutuhkan sistem dinamis yang memenuhi
kebutuhan bagi pengembangan diri tersebut. Dengan gagasan madrasah berbasis
pesantren, siswa tidak akan terjebak menjadi objek pedagogis dari sistem
birokratis, tetapi berkultural pesantren.
Dengan mengadopsi sistem pesantren ini, secara
umum ada empat hal penting yang dapat dicapai atau diperoleh secara simultan oleh madrasah dalam kapasitas dan statusnya sebagai sekolah
menengah umum berciri khas Islam. Capaian ini sekaligus merupakan keunggulan
dan kelebihan madrasah bila dibandingkan dengan sekolah atau pendidikan Islam tradisional lainnya. Bila hal ini dapat diwujudkan, maka akan
tercipta produk (output – outcome) dari proses pendidikan di madrasah yang sesuai dengan ekspektasi para penggunanya.
Empat hal tersebut meliputi: (1) penguatan atau pendalaman 'ulum al-dīn sebagai upaya untuk
meningkatkan kualitas pengetahuan dan keberagamaan peserta didik. (2)
Pendalaman materi science (mata pelajaran umum) sebagai upaya untuk
mencapai keunggulan komparatif sejalan dengan arus besar kebijakan pendidikan
nasional. (3) Pemberian latihan ketrampilan untuk memberi bekal life skill
sebagai bekal bagi lulusan untuk terjun dalam kehidupan bermasyarakat dengan
keunggulan kompetitif. (4) Optimalisasi kegiatan ekstra dalam rangka mewujudkan
"pendidikan yang dijiwai dengan suasana keagamaan".
Model penguatan madrasah yang tidak hanya cocok
untuk pengelolaan madrasah, tetapi lebih dari itu
sistem dan/atau model ini dipandang akan mampu mendekatkan kembali sistem
pendidikan madrasah dengan “induk” yang melahirkan dan membesarkan, yaitu
pesantren. Dengan model ini diharapkan
mampu memenuhi kekurangan yang selama ini menjadi keprihatian
kita bersama, yaitu minimnya pemahaman agama Islam. Model penguatan pendidikan agama islam (PAI)
dengan mengadopsi sistem pendidikan pesantren ini secara konseptual merupakan
manifestasi dari divinity based education. Secara teknis model ini mengadopsi konsep boarding school dan/atau
full days school. Dengan
konsep ini diharapkan tidak akan ada lagi kendala keterbasan waktu untuk proses
pendidikan dan pembelajaran yang berorientasi pada kualitas. Karena dengan
konsep ini pendidikan dan pembelajaran di madrasah tidak hanya dalam formal kurikulum tetapi juga hidden
curriculum. Berangkat dari realitas objektif dan tipologi madrasah
secara umum, penguatan pendidikan agama islam pada madrasah dapat
diimplementasikan sesuai konteks dan kapasitas masing-masing madrasah, yaitu;
(1) Model Madrasah Pesantren (MP), (2) Model Madrasah Lingkungan Pesantren
(MLP), dan (3) Madrasah Sistem Nilai Pesantren (MSNP).
E.
Pola Pendidikan Agama Islam pada Sekolah Umum
Secara
spesifik, realitas kurikulum PAI pada sekolah umum masih terpilah-pilah menjadi
aspek Al-Qur’an/Hadits, aqidah akhlak, fiqih dan tarikh Islam,
mengkonsentrasikan pada masing-masing mapel saja. Orientasi mempelajari
al-Qur’an masih cenderung pada kemampuan membaca teks, belum mengarah pada
pemahaman arti dan penggalian makna secara tekstual dan
kontekstual. Sehingga, masing-masing aspek aqidah akhlak, ibadah dan
syari’ah yang diajarkan hanya sebagai tata aturan keagamaan dan kurang
ditekankan sebagai proses pembentukan kepribadian sebagai konsekwensi dari
pengajaran agama islam tersebut. Kurang terciptanya suasana religius di
sekolah, madrasah maupun PT yang seharusnya tercipta sebagai manifestasi dari
potret lingkup terkecil dari efek pembelajaran pendidikan agama Islam.
Kurangnya
ruang dan waktu bagi peserta didik untuk mengeksplorasi potensi masing-masing
individu sebagai wahana ekspresi PAI, yang hanya dalam durasi dua jam pelajaran
di kelas memang tidaklah akan cukup untuk menyampaikan informasi keagamaan
yang begitu komplek. Apalagi jika tidak pandai mensiasati proses
pembelajarannya, tidak tertutup kemungkinan informasi yang diterima pelajar
hanya akan menyentuh aspek kognitif, tidak sampe pada domain afektif dan
psikomotor. Upaya untuk mensiasati keterbatasan ruang dan waktu, pembelajaran
PAI dapat dilakukan secara integral antara intra dan ekstra kurikuler,
diantaranya adalah :
1)
Menyelenggarakan pembinaan Rohani Islam
Kegiatan pembinaan rohani
Islam, dapat dijadikan sebagai kegiatan ekstra kurikuler yang wajib diikuti
oleh seluruh pelajar yang beragama Islam. Untuk mewujudkan kegiatan ini perlu
dibuat program kerja yang matang sehingga dalam pelaksanaannya tidak
berbenturan dengan kegiatan ekstrakurikuler lainnya, didanai dengan dana yang
cukup, materi yang disampaikan dapat menunjang materi intrakurikuler dengan
menggunakan metode yang menyenangkan tapi tetap edukatif serta memanfaatkan
tenaga pengajar yang ada di lingkungan sekolah yang memiliki komitmen
tinggi terhadap Islam.
2)
Mengkondisikan Sekolah Dengan Kegiatan Keagamaan
Suasana keagamaan atau
dengan istilah ekstrim Islamisasi kampus, dimaksudkan agar seluruh warga
sekolah terutama yang beragama Islam bisa menjalankan sebagian syariat Islam di
lingkungan sekolah sehingga situasi kondusif bisa tercipta di lingkungan
sekolah tersebut. Ini seseungguhnya adalah dalam rangka memenuhi ruang dan
waktu pelajar agar tidak mencari atau memanfaatkan jarak waktu dan jarak ruang
untuk hal-hal yang mengarah kepada tindakan anarkhis dan tawuran.
3) Menggunakan Metode Integrasi dalam KBM mapel.
Secara sederhana,
integrasi lebih mudah dijalankan dengan metode Insersi, yaitu cara menyajikan
bahan pelajaran dengan cara; intisari ajaran Islam atau jiwa agama/emosi
religius diselipkan/disisipkan di dalam mata pelajaran umum.[22] Untuk
menggunakan metode ini guru agama harus bekerja sama dengan guru mata pelajaran
lain (mata pelajaran umum) agar pesan-pesan keagamaan bisa disampaikan
melalui pelajaran umum dengan cara yang sangat halus, sehingga hampir tidak
terasa bahwa sesungguhnya saat itu para pelajar sedang mendapatkan suntikan
keagamaan oleh guru mata pelajaran yang bukan pelajaran agama.
F.
Penutup
Semoga
bermanfaat.
[1] Karnadi Hasan “Konsep
Pendidikan Jawa”, dalam Jurnal Dinamika Islam dan Budaya Jawa, No 3
tahun 2000, Pusat Pengkajian Islam Strategis, IAIN Walisongo Semarang, 2000,
Hal. 29.
[2] Paulo Freire dalam Pendidikan: Kegelisahan
Sepanjang Zaman (Pilihan Artikel Basis), Sindhunata (editor), Kanisius,
2001 sebagaimana di kutip dalam Resensi Amanat, Edisi 84/Februari 2001 Hal. 16.
[3] Baca Pengantar Malik Fadjar
dalam Imam Tholkah, Membuka Jendela Pendidikan, Jakarta : Raja Grafindo
Persada, 2004, Hal. v
[5]
Muslim Kadir, Dasar-Dasar Praktikum Keberagamaan dalam Islam,
Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 1992, 296
[6] Perintah ini harus dimaknai seluas-luanya dan
sedalam-dalamnya yaitu melakukan observasi, eskplorasi ilmu, eksperimentasi,
kajian, studi, analisis, penelitian, riset, penulisan ilmu secara komprehensif.
[8] Humanisasi dan dehumanisasi adalah dua hal yang
bersifat antagonistik. Dehumanisasi dalam pendidikan dimaksudkan sebagai proses
pendidikan yang terbatas pada pemindahan ilmu pengetahuan (transfer of
knowledge). Sedangkan humanisasi merupakan proses pemberdayaan masyarakat
melalui ilmu pengetahuan. Lihat Paulo Freire, Politik Pendidikan:
Kebudayaan, Kekuasaan dan Pembebasan, terj. Agung Prihantoro dan Fuad Arif
Fudiyartanto, Yogykarta : Pustaka Pelajar & READ, 2002, hal. 190-1.
[13]
Abd. Rachman Assegaf, Politik Pendidikan Nasional; Pergeseran Kebijakan
Pendidikan Islam dari Proklamasi ke Reformasi, Yogyakarta, Kurnia Kalam,
2005
[14]
Kunandar, Guru Profesional Implementasi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan
(KTSP) dan Sukses dalam Sertifikasi Guru, ( Jakarta, RajaGrafindo Persada,
2007), 211.
[15]
Nasution, Pengembangan Kurikulum (Bandung: PT Citra Aditya Bakti,1993),
11
[16] Lihat Marzuki Wahid, Pesa ntren Ma sa Depan; Wa cana Pemberda yaa n da n Tra nsforma si Pesa ntren (Bandung: Pustaka Hidayah, 1999), 223.
[17] Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesa ntren : Studi Tentang Pa ndangan Hidup Kyai (Jakarta: LP3ES, 1994), 16.
[18] H.A. Malik Fadjar
dalam Kontekstualisasi Ajaran Islam 70 Tahun Munawir Sjadzal, (Jakarta: kerja sama IPHI dan Paramadina, 1995),
513-514.
[19]Dra. Zuhairi, dkk., Filsafat Pendidikan Islam
(Jakarta: Bumi Aksara, 1995), 107-120.
[20] Syed Muhammad Al-Naquib
Al-Attas,
The Concept
of Education in
Islam:
A
Framework for
an Islamic Philosophy of
Education (Kuala Lumpur: Muslim Youth Movement of Malaysia, 1980),
90. Lihat pula Syed Muhammad Al-Naquib Al-Attas,
Islam and Secularism
(Kuala Lumpur: Muslim Youth Movement of Malaysia, 1978), 18.
[21]
Ronald Alan Lukens-Bull, Jihad ala Pesantren di Mata Antropolog Amerika
(Yogyakarta: Gama Media, 2004), 149.
[22]
Interkoneksi dapat digunakan sebagai metode integrasi dan islamisasi. Lihat:
Amin Abdullah dan Muslim Kadir.
No comments:
Post a Comment