Sunday 11 May 2014

ANALISIS

ISLAMOLOGI 2
DARI RASIONALISME KE EMPIRISME
Disusun Guna Memenuhi Tugas UAS

Mata Kuiah     :Metodologi Studi Islam

Dosen Pengampu        : Taufuqurrahman K.,S.HI, MA





Disusun Oleh:
Siti Rofi’atul Mahmiyyah      (212267)




SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI KUDUS
SYARIAH / EKONOMI ISLAM
SEMESTER III KELAS F




Untuk memahami pemikiran seseorang cendekiawan secara objektif, yang perlu diperhatikan adalah kontens (baca: relitas objektif) yang melingkupi, disamping perkembangan intelektualitasnya. Sebab relitas objektif itulah yang mendorongnya untuk mengartikulasikan gagasan, pandangan, dan sikapnya, bahkan di dalam menentukan metode yang ditempuh untuk mengekspresikan seluruh ide dan gagasan yang digulirkan.
Cendekiawan yang sukses adalah cendekiawan yang mampu menjadikan dirinya sebagai cermin bagi realitas zamannya melalui pikiran-pikiran cerdas yang menawarkan solusi kreatif-kreatif bagi problematika yang menantang relitas. Pikiran-pikiran yang bergulir senantiasa berangkat dari realitas yang diangkat ke pemikiran untuk dicarikan alternative solusi melalui pengayaan makna dan identifikasi agar dapat diaplikasikan dalam kehidupan praktis.
Sejak semula basis pemikiran Hassan Hanafi adalah filsafat. Ia mendapat gelar sarjana filsafat dari Universitas Kairo Mesir tahun 1956. Ia menempuh program doctor di Sorbonne University dengan disertai yang berjudul Essai sur methode d’exegese dan diselesaikan pada tahun 1966. Perkembangan pemikiran kritis Hassan Hanafi bersamaan dengan perkembangan pemikiran kritis Eropa terutama Inggris, Prancis, dan Jerman dengan karakteristik yang berbeda-beda.
Pemikiran prancis terbentuk sebagai sebuah tradisi tersendiri sejak Montaigne (abad keenam belas) dan Descartes (abad ketujuh belas) dengan cirri utamanya adalah usaha untuk merumuskan pemikiran yang clearly and distingly). Aliran pemikiran khas prancisyang berkembang adalah rasionalisme, yakni sebuah aliran yang menekankan peranan rasio dalam mencapai kebenaran, dan spiritualitasme, yang merupakan aliran penekanannya kepada manusia sebagi makhluk rohani.
Pemikirann jerman mempunyai tradisi yang lebih muda. Pemikiran jerman menuntut penelitian yang mendalam dan radikal sehingga tidak menganggap atau tidak menerima setiap uraian yang dangkal dan sekedar deskriptif, sehingga tampak jelas corak pemikiran kritis yang berorientasi pada praktis. Demikian itu tampak dalam bentuk teori kritis yang dimotori oleh dwitunggal Horkheimer dan Adorno.



Tradisi filsafat kita adalah kumpulan teori-teori tentang logika, kealaman dan ketuhanan yang sampai kepada kita dan senantiasa berpengaruh dalam perilaku kehidupan sehari-hari menentukan konsepsi kita terhadap alam (dunia) dan juga memberikan bimbingan terhadap perilaku. Oleh karena itu tradisi filsafat kita adalah dinamis maka ia merupakan tradisi interpretative, ia memberikan isyarat kepada kita dengan pengertian-pengertian yang sebanding dengan isyarat yang kita berikan kepadanya melalui tanda-tanda.
Tradisi filsafat kita, dengan pengertian yang dalam, hanya terbatas pada corak pemikiran yang diprakarsai oleh al-Kindi (252 H), yang diikuti oleh al-Farobi (339 H), Ibnu Sina (428 H), dan disempurnakan oleh Ibnu Rusyd (595 H) yang disandarkan kepada ibnu Bajah (533 H) sebagai anator al-Farabi dan Ibnu Thaufail (581 H) sebagai anator Ibnu Shina di Maghrib (Maroko). Corak pemikiran yang sama adalah yang disusun oleh Abu Bakar ar-Razi (313 H), Abu al-Barakat al-Baghdadi (547 H) dan tokoh-tokoh yang lain memperoleh ilmu-ilmu filsafat (‘ulum al-hikmah) logika, kealaman, dan ketuhanan. Dari corak pemikiran ini muncul ilmu ushuluddin, ilmu ushul fiqh, ilmu tasawuf, dan semua ilmu pengetahuan yang termasuk dalam tradisi intelektual islam klasik, terutama yang berangkat dari kolaborasi sebagian problematika ilmu-ilmu ini dengan problematika kebijaksanaan (hikmah).
Anotasi adalah pengulangan dan bukan penciptaan taklid dan bukan pembuatan, penghapusan subjek (diri) pada diri orang lain dan bukan menyatakan atau meleburkan orang lain dalam diri subjek. Dari anotasi itulah mereka menciptakan penganut panutan dan kekosongan. Tujuan diskursus adalah menetapkan kesalahan konsepsi klasik tentang hubungan anator-anator muslim dengan filsuf-filsuf yunani, serangan model ini yang berangkat dari ketentuan-ketentuan (nilai-nilai) ketiadaan, kesempurnaan tendensi yang baik itu tidak ada pemahaman terhadap ilmu-ilmu peradaban dan paradigma-paradigma baru. Al-farabi hidup pada periode sejarah pertemuan antara peradaban islam yang sedang berkembang dengan peradaban yunani yang sudah estabilitis. Diskursus tentang dua situasi itu akan memberikan model atau standar bagi studi-studi filosofis dalam objek peradaban komparatif.
Al-farabi tidak membatasi diri hanya pada teks-teks Aristoteles, akan tetapi ia akan mengarah ke interprestasi-interprestasi alegirisnya yang beragam dikalangan para anator, baik dengan sepakat dengannya maupun yang tidak sepakat, baik yang tepat maupun yang buruk pemahamannya, baik yang mentrasferensikan maupun yang memprovokasi, baik yang merupakan keyakinan maupun yang semata-mata spekulasi.
Di dalam interaksi dengan  para anator al-Farabi juga memisahkan antara kata dan makna. Para anator mengggunakan kata-kata berbeda yang kadang-kadan harmonis, tetapi kadang juga kontroversi. Namun, semua kata-ka       ta itu tidak berpengaruh terhadap makna-makna secara intrinsic. Maka yang urgen adalah hal-hal yang dinamakan bukan nama-nama.
Anatosi bukanlah analisis terhadap objek, melainkan penampakan milieu anator secara linguistic dan cultural melalui relevensi objek. Oleh karena itu, suatu anotasi lebih banyak merupakan investigasi tentang esensi anator adalah penyusunan karang tidak langsung, penyusunan dari aspek peliputan terhadap pihak-pihak lain sebelum penyusunan langsung dimana didalamnya subjek berbicara tentang dirinya.
Ibnu Majah sebagai anator al-Farabi memahami makna ini. Dia memahami bahwa al-Farabi tidak melakukan anotasi dengan pengertian bahwa ia mengikuti ungkapan dengan ungkapan dan kata dengan kata, tetapi ia memutuskan, membuang, merelasikan, dan menghadapkan bahasa Arab dengan bahasa Yunani. Artinya, anotasi itu adalah anotasi positif yang melakukan investigasi dan pengalaman. Ini berarti bahwa ia merupakan penyusunan karangan secara tidak langsung, mengubah contoh-contoh menjadi sesuatu yang lebih terkenal, membuang penambahan untuk memfokuskan pada subtansi dan klarifikasi intrinsic, dan kembali menampilkan logika dengan berdasarkan pada model-model bahasa Arab.
Al-Farabi masuk ke dasar ruh (nus) Aristotelian, masuk jauh ke dalam rasio Aristoteles dan menguak pragmatismenya dengan bermula pada pesimis-pesimis hingga konklusi-konklusinya, dan dengan merujuk pada silogisme Aristoteles da argumentasi-argumentasinya, serta dengan mengeksplanasikan orientasi-orientasi operasionalnya sehingga ia membuka kepastian rasio dan kebenaran-kebenaran yang tegas secara intrinsic.
Masyarakat keliru ketika menyangka bahwa ibnu Rusyd adalah seorang annotator Ariestoteles, bahwa anotasi adalah verbalisasi suatu ungkapan yang lain, sehingga suatu anotasi (ulasan) merupakan tindakan praktis yang dangkal dan tidak mempunyai kedalaman, yang muncul dipermulaan peradaban atau puncaknya, dan sedikit pun tidak mencerminkan tindakan praksis filosofis.
Diantara penyebab kesalahan umum itu adalah karena para filsuf muslim semata-mata menjadi agen (wakil) dua peradaban, Yunani dan Barat. Perhatian utama mereka adalah mentransferensi peradaban dari satu bangsa ke bangsa yang lain padahal mereka bukan orang-orang yang dapat dipercaya di dalam masalah perwakilan dan transferensi.

ISLAMOLOGI          = ilmu yang mempelajari tentang agama islam
RASIONALISME     = kebenaran yang ditentukan melalui pembuktian, logika dan analisis yang berdasarkan fakta

EMPIRISME              = pengetahuan yang berasal dari pengalaman manusia.

No comments:

Post a Comment