ANALISIS
ISLAMOLOGI 2
DARI
RASIONALISME KE EMPIRISME
Disusun
Guna Memenuhi Tugas UAS
Mata Kuiah :Metodologi Studi Islam
Dosen
Pengampu : Taufuqurrahman K.,S.HI,
MA
Disusun
Oleh:
Siti Rofi’atul Mahmiyyah (212267)
SEKOLAH TINGGI
AGAMA ISLAM NEGERI KUDUS
SYARIAH /
EKONOMI ISLAM
SEMESTER
III KELAS F
Untuk memahami pemikiran seseorang cendekiawan secara objektif,
yang perlu diperhatikan adalah kontens (baca: relitas objektif) yang
melingkupi, disamping perkembangan intelektualitasnya. Sebab relitas objektif
itulah yang mendorongnya untuk mengartikulasikan gagasan, pandangan, dan
sikapnya, bahkan di dalam menentukan metode yang ditempuh untuk mengekspresikan
seluruh ide dan gagasan yang digulirkan.
Cendekiawan yang sukses adalah cendekiawan yang mampu menjadikan
dirinya sebagai cermin bagi realitas zamannya melalui pikiran-pikiran cerdas
yang menawarkan solusi kreatif-kreatif bagi problematika yang menantang
relitas. Pikiran-pikiran yang bergulir senantiasa berangkat dari realitas yang
diangkat ke pemikiran untuk dicarikan alternative solusi melalui pengayaan
makna dan identifikasi agar dapat diaplikasikan dalam kehidupan praktis.
Sejak semula basis pemikiran Hassan Hanafi adalah filsafat. Ia
mendapat gelar sarjana filsafat dari Universitas Kairo Mesir tahun 1956. Ia
menempuh program doctor di Sorbonne University dengan disertai yang berjudul
Essai sur methode d’exegese dan diselesaikan pada tahun 1966. Perkembangan
pemikiran kritis Hassan Hanafi bersamaan dengan perkembangan pemikiran kritis
Eropa terutama Inggris, Prancis, dan Jerman dengan karakteristik yang
berbeda-beda.
Pemikiran prancis terbentuk sebagai sebuah tradisi tersendiri sejak
Montaigne (abad keenam belas) dan Descartes (abad ketujuh belas) dengan cirri utamanya
adalah usaha untuk merumuskan pemikiran yang clearly and distingly). Aliran
pemikiran khas prancisyang berkembang adalah rasionalisme, yakni sebuah aliran
yang menekankan peranan rasio dalam mencapai kebenaran, dan spiritualitasme,
yang merupakan aliran penekanannya kepada manusia sebagi makhluk rohani.
Pemikirann jerman mempunyai tradisi yang lebih muda. Pemikiran
jerman menuntut penelitian yang mendalam dan radikal sehingga tidak menganggap
atau tidak menerima setiap uraian yang dangkal dan sekedar deskriptif, sehingga
tampak jelas corak pemikiran kritis yang berorientasi pada praktis. Demikian
itu tampak dalam bentuk teori kritis yang dimotori oleh dwitunggal Horkheimer
dan Adorno.
Tradisi filsafat kita adalah kumpulan teori-teori tentang logika,
kealaman dan ketuhanan yang sampai kepada kita dan senantiasa berpengaruh dalam
perilaku kehidupan sehari-hari menentukan konsepsi kita terhadap alam (dunia)
dan juga memberikan bimbingan terhadap perilaku. Oleh karena itu tradisi
filsafat kita adalah dinamis maka ia merupakan tradisi interpretative, ia
memberikan isyarat kepada kita dengan pengertian-pengertian yang sebanding
dengan isyarat yang kita berikan kepadanya melalui tanda-tanda.
Tradisi filsafat kita, dengan pengertian yang dalam, hanya terbatas
pada corak pemikiran yang diprakarsai oleh al-Kindi (252 H), yang diikuti oleh
al-Farobi (339 H), Ibnu Sina (428 H), dan disempurnakan oleh Ibnu Rusyd (595 H)
yang disandarkan kepada ibnu Bajah (533 H) sebagai anator al-Farabi dan Ibnu
Thaufail (581 H) sebagai anator Ibnu Shina di Maghrib (Maroko). Corak pemikiran
yang sama adalah yang disusun oleh Abu Bakar ar-Razi (313 H), Abu al-Barakat
al-Baghdadi (547 H) dan tokoh-tokoh yang lain memperoleh ilmu-ilmu filsafat
(‘ulum al-hikmah) logika, kealaman, dan ketuhanan. Dari corak pemikiran ini
muncul ilmu ushuluddin, ilmu ushul fiqh, ilmu tasawuf, dan semua ilmu
pengetahuan yang termasuk dalam tradisi intelektual islam klasik, terutama yang
berangkat dari kolaborasi sebagian problematika ilmu-ilmu ini dengan
problematika kebijaksanaan (hikmah).
Anotasi adalah pengulangan dan bukan penciptaan taklid dan bukan
pembuatan, penghapusan subjek (diri) pada diri orang lain dan bukan menyatakan
atau meleburkan orang lain dalam diri subjek. Dari anotasi itulah mereka
menciptakan penganut panutan dan kekosongan. Tujuan diskursus adalah menetapkan
kesalahan konsepsi klasik tentang hubungan anator-anator muslim dengan
filsuf-filsuf yunani, serangan model ini yang berangkat dari
ketentuan-ketentuan (nilai-nilai) ketiadaan, kesempurnaan tendensi yang baik
itu tidak ada pemahaman terhadap ilmu-ilmu peradaban dan paradigma-paradigma
baru. Al-farabi hidup pada periode sejarah pertemuan antara peradaban islam
yang sedang berkembang dengan peradaban yunani yang sudah estabilitis.
Diskursus tentang dua situasi itu akan memberikan model atau standar bagi
studi-studi filosofis dalam objek peradaban komparatif.
Al-farabi tidak membatasi diri hanya pada teks-teks Aristoteles,
akan tetapi ia akan mengarah ke interprestasi-interprestasi alegirisnya yang
beragam dikalangan para anator, baik dengan sepakat dengannya maupun yang tidak
sepakat, baik yang tepat maupun yang buruk pemahamannya, baik yang
mentrasferensikan maupun yang memprovokasi, baik yang merupakan keyakinan
maupun yang semata-mata spekulasi.
Di dalam interaksi dengan
para anator al-Farabi juga memisahkan antara kata dan makna. Para anator
mengggunakan kata-kata berbeda yang kadang-kadan harmonis, tetapi kadang juga
kontroversi. Namun, semua kata-ka ta
itu tidak berpengaruh terhadap makna-makna secara intrinsic. Maka yang urgen
adalah hal-hal yang dinamakan bukan nama-nama.
Anatosi bukanlah analisis terhadap objek, melainkan penampakan
milieu anator secara linguistic dan cultural melalui relevensi objek. Oleh
karena itu, suatu anotasi lebih banyak merupakan investigasi tentang esensi
anator adalah penyusunan karang tidak langsung, penyusunan dari aspek peliputan
terhadap pihak-pihak lain sebelum penyusunan langsung dimana didalamnya subjek
berbicara tentang dirinya.
Ibnu Majah sebagai anator al-Farabi memahami makna ini. Dia
memahami bahwa al-Farabi tidak melakukan anotasi dengan pengertian bahwa ia
mengikuti ungkapan dengan ungkapan dan kata dengan kata, tetapi ia memutuskan,
membuang, merelasikan, dan menghadapkan bahasa Arab dengan bahasa Yunani.
Artinya, anotasi itu adalah anotasi positif yang melakukan investigasi dan
pengalaman. Ini berarti bahwa ia merupakan penyusunan karangan secara tidak
langsung, mengubah contoh-contoh menjadi sesuatu yang lebih terkenal, membuang
penambahan untuk memfokuskan pada subtansi dan klarifikasi intrinsic, dan
kembali menampilkan logika dengan berdasarkan pada model-model bahasa Arab.
Al-Farabi masuk ke dasar ruh (nus) Aristotelian, masuk jauh ke
dalam rasio Aristoteles dan menguak pragmatismenya dengan bermula pada
pesimis-pesimis hingga konklusi-konklusinya, dan dengan merujuk pada silogisme
Aristoteles da argumentasi-argumentasinya, serta dengan mengeksplanasikan
orientasi-orientasi operasionalnya sehingga ia membuka kepastian rasio dan kebenaran-kebenaran
yang tegas secara intrinsic.
Masyarakat keliru ketika menyangka bahwa ibnu Rusyd adalah seorang
annotator Ariestoteles, bahwa anotasi adalah verbalisasi suatu ungkapan yang
lain, sehingga suatu anotasi (ulasan) merupakan tindakan praktis yang dangkal
dan tidak mempunyai kedalaman, yang muncul dipermulaan peradaban atau
puncaknya, dan sedikit pun tidak mencerminkan tindakan praksis filosofis.
Diantara penyebab kesalahan umum itu adalah karena para filsuf
muslim semata-mata menjadi agen (wakil) dua peradaban, Yunani dan Barat.
Perhatian utama mereka adalah mentransferensi peradaban dari satu bangsa ke
bangsa yang lain padahal mereka bukan orang-orang yang dapat dipercaya di dalam
masalah perwakilan dan transferensi.
ISLAMOLOGI = ilmu
yang mempelajari tentang agama islam
RASIONALISME = kebenaran
yang ditentukan melalui pembuktian, logika dan analisis yang berdasarkan fakta
EMPIRISME =
pengetahuan yang berasal dari pengalaman manusia.
No comments:
Post a Comment