TAWURAN PELAJAR
Kajian dari
Perspektif Sosial Budaya[1]
1.
Tawuran
sebagai bentuk lain dari ‘berkelahi secara berkelompok’ muncul
antarpelaku yang sama-sama agresif. Bertindak atau merespons tindakan, keduanya
sama-sama semacam saling tukar-menukar kekerasan. Pilihan tindak kekerasan bisa
hadir sebagai perwujudan rasa bangga diri berlebih (dalam ungkapan Jawa disebut
adigang, adigung, adiguna) misalnya karena menjadi anak pejabat, atau menjadi
anaknya orang kaya, atau karena dirinya merasa jagoan lantaran mempunyai ilmu
beladiri atau menyatunya kesemua faktor itu lalu ingin ditunjukkan kepada lingkungan
pergaulannya dengan cara mengejek atau mempermalukan atau melukai (misalnya
dengan pura-pura menyenggol, menabrak dan semacamnya) kepada pihak lain. Jika
perbuatan seperti itu tidak direspon secara setimpal, maka akan timbul dua
kepuasan sekaligus bagi pelakunya, yaitu pertama, karena akan ditakuti dan diikuti oleh teman
sepergaulan, dan kedua, upaya untuk mengejek, mempermalukan, atau melukai tadi,
akan ditingkatkan frekuensi atau bobot kualitasnya agar direspons dengan cara
kekerasan (sepanjang dirinya tetap menang).
Dengan kata lain, “pelajar” ini sedang “cari gara-gara”. Pihak yang
dijadikan sasaran -- ketika dirinya merasa tidak seimbang (kekuatannya) – tahap
awal mungkin akan membiarkan atau memilih menghindari keributan, tapi pada saat
itu sudah mulai tumbuh benih-benih rasa tidak simpati dan rasa benci, meski
disembunyikan (silent conflict).
Tetapi ketika terjadi perulangan yang sama, bahkan lebih -- biasanya, pihak yang menjadi sasaran akan
timbul rasa frustasi atau menyusun kekuatan tandingan untuk balas dendam. Sikap
demikian akan semakin menguat ketika yang bersangkutan diprovokasi (seperti
ungkapan: cacing saja kalau diinjak menggeliat, kok kita diam saja) dan lalu
disupport oleh teman sepergaulan. Apa
yang terjadi kemudian? Apakah terjadi
pembalasan atau sebaliknya, lebih memilih menghindar dari keributan, jawabannya
sangat dipengaruhi oleh dinamika permasalahan dan kondisi lingkungan sosialnya.
2.
Anak
(pelajar) yang arogan, secara umum bukanlah karakter bawaan, tetapi adalah efek
dari situasi pendidikan yang diterima di dalam keluarga, di lembaga pendidikan,
dan di lingkungan sosialnya. Orangtua
yang terlalu sibuk mengejar mimpi keduniaan dan membangun citra diri sebagai orang
sukses (menurut ukuran dhahir) biasanya akan menebus kekurangannya misalnya
tiadanya waktu dalam memberi rasa aman dan kasih sayang kepada anaknya, dengan memilih
cara-cara instant yaitu dengan menfasilitasi kebutuhan anaknya itu secara
berlebih (baca: pemanjaan) untuk “menebus dosa”, atau berkecenderungan membela
anaknya ketika dan kendati berbuat onar, agar dirinya dianggap punya perhatian. Efeknya adalah ketika diberitahu kalau
“anaknya tawuran”, biasanya tidak
disikapi secara reflektif atas kekurangan dirinya, tetapi justru secara
emosional menyalahkan pihak lain misalnya guru atau lembaga pendidikan. Jika
“berurusan” dengan pihak kepolisian karena melakukan “penganiayaan” atau semacamnya,
maka orangtua biasanya akan menebus dengan berbagai cara (untuk menghindari
rasa malu) agar anaknya ‘dibebaskan’ dari segala jeratan hukuman. Si anak lantas merasa terlidungi dan dirinya
merasa tak tersentuh oleh sanksi. Dengan kata lain, orangtua bangga karena merasa
memiliki kekuasaan atau kekuatan (berkat jabatan atau kekayaan) dan si anak
menjadi terproteksi oleh keadaan, kendati berbuat onar.
3.
Guru dalam
profesinya sebagai pendidik adalah baik dan mulia. Tetapi tidak semua dari
mereka yang menjadi guru karena panggilan jiwa. Ada sebagian yang berpprfesi
sebagai guru hanya karena belum menemukan pekerjaan lain di luarnya yang lebih
menguntungkan. Kategori guru seperti ini biasanya hanya bersibuk-sibuk diri
untuk memenuhi kewajiban minimal sesuai dengan kurikulum dan jam tugasnya. Di
luar jam kerja, mereka para murid itu, tidak lagi “murid” saya tetapi anak
mereka (orangtua). Jika mendengar anak murid berbuat onar seperti tawuran
misalnya, maka guru kategori ini lebih bersibuk-sibuk diri menanyakan: jam
berapa kejadiannya dan di mana lokus peristiwanya? Jika ada kepastian di luar jam kerja dan di
luar lokus sekolahan, guru seperti ini memilih
lepas tangan dan melepaskan diri dari pertanggungjawaban (moral).
4.
“Siapa
berasal dari lingkungan mana dan belajar dari siapa tentang hal apa?”
Pertanyaan demikian -- dalam istilah kebudayaan -- dikenal istilah “post
figurative” dan “co-figurative”. Yang pertama, berarti “anak belajar mengambil
teladan dari orangtuanya” . Dari sini muncul ungkapan: “buah mangga jatuh tidak
jauh dari pohonnya”. Sedang yang kedua, anak cenderung belajar kepada teman
sebayanya”. Ini artinya, ketika anak di rumah tidak mendapatkan rasa aman dan
rasa kasih sayang, maka ia akan melepaskan rasa kekecewaannya, dan cenderung
akan berkesepahaman dan bersekongkol dengan teman sebaya yang memiliki “nasib”
yang kurang lebih sama.
5.
Pendidikan
agama yang sering disebut sebagai terapi untuk menghindarkan siswa dari tindakan brutal (dengan misalnya menambah jam
pelajaran agama di sekolahan), tetapi cara bagaimana agama itu diajarkan dan
disosialisasikan, perlu dikaji ulang. Apakah agama yang diajarkan oleh guru
lebih ditekankan kepada terbentuknya prinsip-prinsip hidup multikultural
(mencintai Allah berarti mencintai ciptaan-Nya) atau pengajaran agama lebih ditekankan
kepada pemilahan sosial? Dalam suasana demikian, perbedaan: pandangan, aliran,
dan ajaran, layak dicurigai dan dimusuhi. Nampak di sini, agama lebih
diposisikan sebagai identitas sosial yang berfek kepada pemilahan, dan belum
menjadi identitas keadaban bagi penyandangnya.
6.
Di luar
itu, tawuran antarpelajar mudah terjadi
karena di dalam kehidupan masyarakat dewasa ini, sudah muncul gejala anomali,
permisiveness dan ketakpedulian. Kondisi demikian diperparah oleh tayangan
media massa yang lebih mengutamakan keuntungan ekonomi daripada ikut
mengupayakan terbentuknya karakter anak bangsa menyongsong masa depan. Eksploitasi tayangan yang mensyahwati, dan yang memberi ruang berlalulalangnya
kekerasan, pada batas-batas tertentu akan dijadikan model bagi remaja yang
sedang mencari jati diri. Kemudian
ketika begitu banyak remaja yang terjebak masuk ke pelukan narkoba, seks bebas,
dan tindak kekerasan – banyak pihak dengan enteng berseloroh: mereka sebagai
tebusan untuk perubahan zaman.
7.
Bagaimana lalu jalan keluar untuk mengantarkan
anak-anak kita mencapai kemuliaan? Anak remaja harus diuji dengan kerja keras
tanpa harus dicukupi fasilitas. Jika tidak mengeluh dan bisa sukses, perlu diuji dengan uang. Jika jujur dan dapat
menggunakan secara tepat, maka ujilah dengan perempuan (sebagaimana dilukiskan
Tuhan dengan Yusuf pada kehadiran Zulaiha). Jika tidak tergoda, maka ujilah
dengan cara diterjunkan ke masyarakat. Jika bisa memimpin, maka dia adalah
perwira. Untuk itu semua, agama harus menjadi nilai-nilai dasar keadaban itu
sendiri. Agama diajarkan untuk mencapai sikap menerima dengan ketulusan: fa
akhsin kama akhsanaLLahu ilaik. Wallahu aklam bishowab***
No comments:
Post a Comment