Sunday 4 May 2014

kajian TAWURAN PELAJAR dari Perspektif Sosial Budaya

TAWURAN PELAJAR
Kajian dari Perspektif Sosial Budaya[1]


1.      Tawuran sebagai bentuk lain dari ‘berkelahi secara berkelompok’  muncul  antarpelaku yang sama-sama agresif. Bertindak atau merespons tindakan, keduanya sama-sama semacam saling tukar-menukar kekerasan. Pilihan tindak kekerasan bisa hadir sebagai perwujudan rasa bangga diri berlebih (dalam ungkapan Jawa disebut adigang, adigung, adiguna) misalnya karena menjadi anak pejabat, atau menjadi anaknya orang kaya, atau karena dirinya merasa jagoan lantaran mempunyai ilmu beladiri atau menyatunya kesemua faktor itu lalu ingin ditunjukkan kepada lingkungan pergaulannya dengan cara mengejek atau mempermalukan atau melukai (misalnya dengan pura-pura menyenggol, menabrak dan semacamnya) kepada pihak lain. Jika perbuatan seperti itu tidak direspon secara setimpal, maka akan timbul dua kepuasan sekaligus bagi pelakunya, yaitu pertama,  karena akan ditakuti dan diikuti oleh teman sepergaulan, dan kedua, upaya untuk mengejek, mempermalukan, atau melukai tadi, akan ditingkatkan frekuensi atau bobot kualitasnya agar direspons dengan cara kekerasan (sepanjang dirinya tetap menang).  Dengan kata lain, “pelajar” ini sedang “cari gara-gara”. Pihak yang dijadikan sasaran -- ketika dirinya merasa tidak seimbang (kekuatannya) – tahap awal mungkin akan membiarkan atau memilih menghindari keributan, tapi pada saat itu sudah mulai tumbuh benih-benih rasa tidak simpati dan rasa benci, meski disembunyikan (silent conflict). Tetapi ketika terjadi perulangan yang sama, bahkan lebih  -- biasanya, pihak yang menjadi sasaran akan timbul rasa frustasi atau menyusun kekuatan tandingan untuk balas dendam. Sikap demikian akan semakin menguat ketika yang bersangkutan diprovokasi (seperti ungkapan: cacing saja kalau diinjak menggeliat, kok kita diam saja) dan lalu disupport  oleh teman sepergaulan. Apa yang terjadi kemudian?  Apakah terjadi pembalasan atau sebaliknya, lebih memilih menghindar dari keributan, jawabannya sangat dipengaruhi oleh dinamika permasalahan dan kondisi lingkungan sosialnya.
2.      Anak (pelajar) yang arogan, secara umum bukanlah karakter bawaan, tetapi adalah efek dari situasi pendidikan yang diterima di dalam keluarga, di lembaga pendidikan, dan di lingkungan sosialnya.  Orangtua yang terlalu sibuk mengejar mimpi keduniaan dan membangun citra diri sebagai orang sukses (menurut ukuran dhahir) biasanya akan menebus kekurangannya misalnya tiadanya waktu dalam memberi rasa aman dan kasih sayang kepada anaknya, dengan memilih cara-cara instant yaitu dengan menfasilitasi kebutuhan anaknya itu secara berlebih (baca: pemanjaan) untuk “menebus dosa”, atau berkecenderungan membela anaknya ketika dan kendati berbuat onar, agar dirinya dianggap punya perhatian.  Efeknya adalah ketika diberitahu kalau “anaknya tawuran”, biasanya  tidak disikapi secara reflektif atas kekurangan dirinya, tetapi justru secara emosional menyalahkan pihak lain misalnya guru atau lembaga pendidikan. Jika “berurusan” dengan pihak kepolisian karena melakukan “penganiayaan” atau semacamnya, maka orangtua biasanya akan menebus dengan berbagai cara (untuk menghindari rasa malu) agar anaknya ‘dibebaskan’ dari segala jeratan hukuman.  Si anak lantas merasa terlidungi dan dirinya merasa tak tersentuh oleh sanksi. Dengan kata lain, orangtua bangga karena merasa memiliki kekuasaan atau kekuatan (berkat jabatan atau kekayaan) dan si anak menjadi terproteksi oleh keadaan, kendati berbuat onar.
3.      Guru dalam profesinya sebagai pendidik adalah baik dan mulia. Tetapi tidak semua dari mereka yang menjadi guru karena panggilan jiwa. Ada sebagian yang berpprfesi sebagai guru hanya karena belum menemukan pekerjaan lain di luarnya yang lebih menguntungkan. Kategori guru seperti ini biasanya hanya bersibuk-sibuk diri untuk memenuhi kewajiban minimal sesuai dengan kurikulum dan jam tugasnya. Di luar jam kerja, mereka para murid itu, tidak lagi “murid” saya tetapi anak mereka (orangtua). Jika mendengar anak murid berbuat onar seperti tawuran misalnya, maka guru kategori ini lebih bersibuk-sibuk diri menanyakan: jam berapa kejadiannya dan di mana lokus peristiwanya?  Jika ada kepastian di luar jam kerja dan di luar lokus sekolahan,  guru seperti ini memilih lepas tangan dan melepaskan diri dari pertanggungjawaban (moral).
4.      “Siapa berasal dari lingkungan mana dan belajar dari siapa tentang hal apa?” Pertanyaan demikian -- dalam istilah kebudayaan -- dikenal istilah “post figurative” dan “co-figurative”. Yang pertama, berarti “anak belajar mengambil teladan dari orangtuanya” . Dari sini muncul ungkapan: “buah mangga jatuh tidak jauh dari pohonnya”. Sedang yang kedua, anak cenderung belajar kepada teman sebayanya”. Ini artinya, ketika anak di rumah tidak mendapatkan rasa aman dan rasa kasih sayang, maka ia akan melepaskan rasa kekecewaannya, dan cenderung akan berkesepahaman dan bersekongkol dengan teman sebaya yang memiliki “nasib” yang kurang lebih sama.
5.      Pendidikan agama yang sering disebut sebagai terapi untuk menghindarkan siswa dari  tindakan brutal (dengan misalnya menambah jam pelajaran agama di sekolahan), tetapi cara bagaimana agama itu diajarkan dan disosialisasikan, perlu dikaji ulang. Apakah agama yang diajarkan oleh guru lebih ditekankan kepada terbentuknya prinsip-prinsip hidup multikultural (mencintai Allah berarti mencintai ciptaan-Nya) atau pengajaran agama lebih ditekankan kepada pemilahan sosial? Dalam suasana demikian, perbedaan: pandangan, aliran, dan ajaran, layak dicurigai dan dimusuhi. Nampak di sini, agama lebih diposisikan sebagai identitas sosial yang berfek kepada pemilahan, dan belum menjadi identitas keadaban bagi penyandangnya.  
6.      Di luar itu,  tawuran antarpelajar mudah terjadi karena di dalam kehidupan masyarakat dewasa ini, sudah muncul gejala anomali, permisiveness dan ketakpedulian. Kondisi demikian diperparah oleh tayangan media massa yang lebih mengutamakan keuntungan ekonomi daripada ikut mengupayakan terbentuknya karakter anak bangsa menyongsong masa depan.  Eksploitasi tayangan yang mensyahwati,  dan yang memberi ruang berlalulalangnya kekerasan, pada batas-batas tertentu akan dijadikan model bagi remaja yang sedang mencari jati diri.  Kemudian ketika begitu banyak remaja yang terjebak masuk ke pelukan narkoba, seks bebas, dan tindak kekerasan – banyak pihak dengan enteng berseloroh: mereka sebagai tebusan untuk perubahan zaman.
7.       Bagaimana lalu jalan keluar untuk mengantarkan anak-anak kita mencapai kemuliaan? Anak remaja harus diuji dengan kerja keras tanpa harus dicukupi fasilitas. Jika tidak mengeluh dan bisa sukses,  perlu diuji dengan uang. Jika jujur dan dapat menggunakan secara tepat, maka ujilah dengan perempuan (sebagaimana dilukiskan Tuhan dengan Yusuf pada kehadiran Zulaiha). Jika tidak tergoda, maka ujilah dengan cara diterjunkan ke masyarakat. Jika bisa memimpin, maka dia adalah perwira. Untuk itu semua, agama harus menjadi nilai-nilai dasar keadaban itu sendiri. Agama diajarkan untuk mencapai sikap menerima dengan ketulusan: fa akhsin kama akhsanaLLahu ilaik. Wallahu aklam bishowab***



[1] Disampaikan pada seminar regional di Kudus, Sabtu,20 Oktober 2012.

No comments:

Post a Comment